Berjalan berarti berhijrah dari
satu tempat ke tempat yang lain, namun kadang kita lupa memaknai hakikat dari
perjalanan itu sendiri, berjalan bukan hanya sekedar melepas kejenuhan semata, tapi
banyak keajaiban yang terkandung di dalamnya, terlebih akan terbentuknya sebuah
hubungan kasih sayang sesama saudara baik: saudara se-agama, se-bangsa dan se-negara
yang kokoh dan kuat, atau kita kenal dengan sebutan ukhuwah islamiyah.
Namun perlu kita
garis bawahi, bahwa ada perbedaan antara silaturrahmi dan ukhwah islamiyah.
Secara etimologi silaturrahmi, tersusun dari dua bahasa Arab "silatun"
berarti menyambung dan "al-rahim" berarti kasih sayang. Jadi Silaturrahmi (atau bisa dibaca
silaturrahim) adalah mempererat tali persaudaraan. Begitu pun
dengan ukhuwwah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab "akhun".
Artinya saudara. Ukhuwwah memiliki arti menjalin persaudaraan. Lantas, Apa perbedaan
silaturrahim dan ukhuwwah?. Sebagaimana yang dijelaskan KH. Hasyim Asy'ari dalam
kitabnya al-Tibyan (1998:15)—adalah kalau silaturrahmi terdapat hubungan
kekeluargaan (muhrim: satu nasab) sedangkan ukhuwwah hanya sebatas teman
tanpa nasab.
Maka, dari uraian
di atas jelas, bahwa islam itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
persaudaraan, persahabatan, keakraban sampai pada kekeluargaan itu sendiri. Tampa
harus membeda-bedakan dan memarginalkan hak prioritas di anatara keduanya,
karena jika hal itu bisa di implementasikan di kalangan umat islam khususnya
dan rakyat indonesia umumnya, maka akan terciptalah sebuah bangunan persatuan
dan kesatuan (united state) umat berbangsa dan bernegara yang kokoh tak
tertandingi, sehingga kemudian terbebas dari ancaman yang kadang menyeret pada
perpecahan.
Jejak di Masjid
Waru Pamekasan
Setelah menempuh
perjalanan kurang lebih 2 jam perjalanan, dengan mengendarai sepeda motor Jupiter
Z sampailah di Masjid Waru Pamekasan, perjalanan yang sangat melelahkan sekali,
suasana yang tidak pernah berubah dari beberapa tahun sebelumnya, semenjak aku
masih duduk di bangku SMP sampai sekarang menempuh pendidikan di salah satu
penguruan tinggi, yaitu jalan dari Jelgung Robatal Menuju Pasar Krampenang,
tidak bisa aku uraikan dengan sangat detail dalam serial catatan kali ini, saking
bergelombangnya, ditambah lagi dengan Jembatan yang roboh yang belum mendapat
perhatian dari pemerintah Kab. Sampang, dan penulis mengakui dari sektor
pembangunan Sampang memang sangat lemot alias lambat sekali, meski realitasnya
Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) akhir-akhir ini, sudah menetapkan Sampang
dalam petanya sebagai kota Industri.
Di masjid itu,
aku melepas lelah sebentar dengan rekanku Adin, sambil lalu berbaring diberanda
masjid, tidak lama kemudian aku melihat ustadz Wakil, dan aku pun spontan
menghampirinya, mengajak duduk diberanda masjid kemudian, bercakap-cakap
dengannya.
Beberapa menit
kemudian, adzan ashar pun berkumandang aku pun mengajak rekanku dan
ustadz Wakil untuk melaksanakan ibadah shalat ashar, seraya menganbil
wudhu’ terlebih dahulu baru kemudian melaksanakan shalat ashar secara
berjamaah, suasana yang sangat takjub sekali, ruapaya masjid ini sangat
mendapat perhatian sekali baik dari takmir atau pun dari masyarakat sekitar
masjid.
Setelah melaksanakan
shalat ashar aku pun kembali bercakap-cakap dengan ustad Wakil, seraya dia
meminta nomer Hp-ku dan mengajakku untuk mampir kerumahnya, kalau nanti sudah
berada di Nurul Amal, aku pun tidak menyanggupi tawarannya hanya insyaallah
yang sempat keluar dan terucap dari bibirku, karena melihat waktu yang kubawa
hanya berkisar sebentar, sementara yang harus ku kunjungi tidak begitu banyak
hanya beberapa rumah saja.
Jejak di LPI
Nurul Amal Sana Tengah
Sepanjang
perjalanan menuju LPI Nurul Amal Sana Tengah banyak ku dapati perubahan,
ketimbang satu tahun sebelumnya, seperti tanjakan yang tidak lagi penuh dengan
batu dan debu, serta gerbang selamat datang dan anda memasuki kawasan dan lain
sebagainya, sebuah pemandangan baru yang patut mendapat acungan jempol.
Setelah tiba, di
LPI Nurul Amal Sana Tengah, aku mendapati pemandangan yang sangat mencolok, yakni
warna gedung madrasah yang berubah, begitu indah dan menarik dipandangi. Namun,
sayang waktu pertama aku tiba disana, beliau pengasuh K. Ach. Dhafir dan K.
Hairur Rasyid lagi keluar tidak ada di dhalem-nya.
Aku pun
menghampiri D. Jawahir yang sedang duduk santai diberanda masjid, bersama
Kholil, Khomai dan Su’udi tidak lama kemudian datanglah Fauzi, suasana yang
sangat asyik dan enjoy sekali disaat sore hari, benar kata rekanku Adin, bahwa
disana (Nurul Amal) paling ia suka adalah waktu sore hari, dengan cahaya
matahari yang masuk menerobos lewat pepohonan dan semak belukar, dibarengi
dengan percakapan, canda dan tawa sebagai bumbu penyedapnya.
Tidak lama
kemudian, nyai Mia keluar dari dhalem mengahaturiku untuk alengki
(masuk) ke dhalem, aku pun segera meluncur turun dari masjid bersama D.
Jawahir dan Khomai, rupanya ada sedikit perubahan di dhalem bawah, yaitu
di dindingnya terpangpang foto keluarga besar KH. Bahaudin sang sesepuh atau
pelopor LPI Nurul Amal.
Kemudian, aku
kepondok gedek dimana dulu aku mendekam disana selama satu tahun penuh,
untuk menjalankan amanah dan tugas dari Pondok Pesantren Mambaul Ulum
Bata-Bata, suasana yang sedikit berubah selain bangunannya bertambah pohon kersen
(Ceri) yang kutanam dulu disebelah utara pondok kini menjadi besar serta di
penuhi dengan bunga-bunga, yang di tanam oleh guru tugas sesudahku.
Sesudah
berbincang-bincang dengan Hamdi di dalam kamar (pondok), aku putuskan untuk
segera mengunjungi rumahnya Hamdi, untuk menikmati degan miliknya, maklum sudah
satu tahun lamanya tidak alembur (panen) degan, kerinduan yang sangat
mendalam untuk menikmati kelezatan degan yang di cambur dengan susu.
Setelah matahari
mulai tenggelam, di ufuk barat aku mengajak tuan rumah Hamdi, untuk mengambil
wudhu’ di sungai, baru kemudian melaksanakan shalat magrib berjama’ah di
rumah Hamdi bersama keluarga dan tetangga di dekat rumahnya, suasana yang penuh
dengan kekeluargaan dan kasih sayang sesama umat islam.
Merasa puas serta
cukup melepas rindu di rumah itu, aku melanjutkan menuju rumahnya Kholil, disana
aku berjumpa dengan pak Toya, Rifki keponakan laki-laki Kholil dan Wiwik yang
juga siswa PAUD dulu waktu masa tugasku di LPI Nurul Amal. Keakrabanku dengan
Kholil dan Hamdi serta keluarga besarnya terjalin sejak dulu waktu aku dalam
masa tugas sampai sekarang pun keakraban itu masih terjalin dengan baik, aku
sangat bersyukur sekali.
Setelah
bercakap-cakap dengan keluarga besar Kholil, serta orang baru yang tidak pernah
ku kenal sebelumnya yaitu bapaknya Wiwik yang katanya baru datang dari
Malaysia, aku pun segera kembali ke pondok namun setelah lewat di depan dhalem,
langkahku terhenti disana, setelah aku melihat Ze’i, D. Jawahir dan Lora Roby
aku pun kembali dalam percakapan.
Tidak lama
kemudian, K. Hair keluar dari dhalem dan aku pun tenggelam dalam
perbincangan yang begitu dalam dengan beliau yakni perihal perkembangan LPI
Nurul Amal, serta sentilanku yang sering diingat oleh Lora Roby ketika
berkencing di depan dhalem “awas, pelanggaran” aku pun tersenyum renyah
mengingat kebiasaan itu. Karena setelah ku ucapkan kalimat itu, biasanya Lora
Roby lari atau bersegera masuk ke dhalem.
Merasa lelah dan
ngantuk aku, pamitan pada beliau untuk beristrirahat ke pondok sambil lalu
menunggu kedatang kyai Dhafir, beberapa menit kemudian K. Dhafir pun rawuh
(datang) dan aku pun segera sungkem sama beliau seraya mempersilahkanku
masuk ke dhalem aku pun alengki (masuk) ke dhalem sampai
akhirnya aku mengakhiri perbincangan sama beliau.
Baru kemudian aku
melaksanakan shalat berjamaah sama Kholil di masjid, suasana yang sangat
menarik sekali shalat isya’ di masjid itu karena mengingatkanku pada
masa lalu yang begitu mendalam, bersama masjid. Setelah shalat isya’ aku
berbincang-bincang dengan Bi’ Sama diberanda pondok, bertanya-tanya tentang perkembangan
kampung Cekonceh, disana juga ada Ilzah seorang murid yang paling rajin
menghafalkan kosa kata ketika mengikuti kursusan bahasa Inggris dulu.
Pagi harinya, aku
berkunjung kerumahnya Ust. Rahwini, tidak begitu lama aku disana karena beliau
mau keluar untuk mengantarkan balik pondok putranya Su’udi, aku pun berpamitan
untuk keluar juga lantas kembali lagi ke pondok. Beberapa menit kemudian, dua
mantan anak didikku sebut Yudi dan Arif datang menemuiku, ku lihat tidak ada
perubahan dari kedua fisik anak tersebut meski kelasnya sudah lebih tinggi dari
dulu ketika aku ditugas.
Berselang
beberapa menit kemudian, semakin banyak yang berdatangan diantaranya adalah Riz
mbaknya Arif, Ika, Devi, Ilma, Fit, Fatim dan Dini, dari segi fisik memang
banyak perubahan, yah begitulah pertumbuhan anak perempuan memang condong lebih
cepat berkembang dari pada laki-laki, meski tidak semua anak perempuan cepat
dalam perkembangan fisiknya namun, pasti ada sebagain yang sepert itu.
Setelah merasa
cukup melepas rindu dengan mantan anak didik di LPI Nurul Amal, kemudian satu
persatu dari mereka, pergi bergantian. Tapi, tidak lama kemudian suara gaduh,
riuh dan tangisan memenuhi jalan raya. Setelah aku menghampirinya rupanya
terjadi kecelakaan kecil-kecilan, hehe. Arif terjatuh dari sepeda ketika
boncengan dengan Yudi, tidak jauh beda cengengnya dengan dulu sifat Arif waktu
itu. Yudi pun jadi pucat, sambil lalu mengambilkan air dari dapur dhalem
dan memberikannya kepada Arif ketika aku sudah membopongnya dari jalan raya ke
depan pondok.
Suasana yang lucu
sekali ketika Arif yang menangis tersedu-sedu lantas tertawa ketika mendengar
guyonan dari Yudi, tidak pedulikan rasa sakit akibat luka jatuh di salah satu
jari-jari kakinya. Setelah tangisan mulai reda Yudi pun membawa Arif pulang.
Aku pun mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju pulang, sambil
lalu berpamitan kepada Bi’ Ama. Bi’ Ama adalah seorang abdi dhalem Kyai
Dhafir yang sudah dianggap keluarga dhalam sendiri, yang dengan rela dan
senang hati merawat semua guru tugas (GT) yang di tugas disana, baik guru tugas
dari Pon. Pes. Mambaul Ulum Bata-Bata atau dari Pon. Pes. Darul Ulum Banyuanyar
dengan penuh khidmat dan sabar.
Tidak ada yang
beda dari perjalanan menuju pulang kali ini, cuman aku lewat jalan lintas Kabupaten
yang dekat dengan lautan di utara pulau Madura, sedangkan waktu berangkat aku
lewat jalan pintas. Yang membuatku prihatin adalah pelebaran jalan yang tidak
selesai-selesai. Ironisnya lagi bukan tidak selesai di kerjakan tapi tidak
selesai-selesai dibiarkan begitu saja. Beberapa kilo meter kemudian, aku pun
melihat orang-orang yang berkendaraan roda dua banyak yang berhenti, aku pun
berhenti kemudian bertanya pada salah satu dari mereka, apa yang terjadi
gerangan. Mereka memjawab bahwa di tikungan depan sana ada operasian (Polisi),
dan mereka memberikan saran padaku untuk melanjutkan perjalanan menuju pulan
dengan penuh keyakinan tanpa tegang apalagi gemetar.
Aku pun mengikuti
saran mereka, setelah akan sampai pada tikungan itu, tiba-tiba keyakinanku
memudar, untungnya pas keyakinanku memudar akan lolos dari cegatan polisi itu
aku dapati jalan kecil yang masuk pada semak-semak dan alhamdulillah aku pun
bisa melewati polisi-polisi itu tanpa harus melewati tikungan yang membuat
orang yang belum resmi alias tidak punya surat idzin mengemudi (SIM) gerogi.
Setelah sampai pada Kec. Roabtal di utara pasar Jelgung lagi-lagi ban sepedaku bocor,
apes gumamku!. Kejiadian ini sering menimpaku ketika bepergian dengan rekanku yang
satu ini sebut saja Adin, namun untungnya beberapa meter kemudian aku dapati
tambal ban.
Setelah mendapati
tambal ban aku meminjam sepeda tukang tambal ban untuk menjemput rekanku yang
ku tinggal sendirian di jalan ketika ku ketahui ban sepeda motorku itu bocor,
setelah itu baru aku membawanya ke tempat tambal ban juga. Setelah semuanya
beres aku pun melanjutkan perjalanan yang sesungguhnya. Menuju rumah di sebrang
sana. Catatan perjalanan tanggal 17 Agustus sampai dengan 18 Agustus 2013.
*Serial Catatan dari Pulau Sebrang