Taufiqurrahman Al-Azizy dalam sebuah novelnya, pernah mendefinisikan
hakikat sebuah perjalanan; “orang yang bepergian hanya satu yang dibawa
yaitu maksud dan tujuan”. Ketika penulis mencoba diam sejenak
(merenungkan), makna terselubung dari pada ungkapan itu, kemudian membandingkan
dengan realitas yang ada, pernyataan tersebut memang sangat relevan dan masuk
akal sekali, dan begitu lunak dan mudah di mengerti.
Maka kemudian penulis pun membenarkan bahwa dalam sebuah perjalanan, entah itu
perjalanan yang bertujuan silaturrahmi, ziarah, wisata, mudik dan lain
sebagainya. Hanya satu yang dibawa dan sekaligus menjadi bekal dalam
perjalanannya ialah maksud dan tujuan, jadi meskipun dalam sebuah perjalanan,
kita sudah membawa oleh-oleh ataupun hadiah dan sejenisnya. Maka jangan
sekali-kali kita mengesampingkan maksud dan tujuan dibalik perjalanan tersebut.
Disinilah syariat islam membedakan antara pekerjaan yang sifatnya muamalah
dan ibadah, kalau urusan yang berkaitan dengan ibadah dalam hal niatnya saja
sudah mendapatkan pahala. Seperti dalam perjalanan main-main kerumah teman,
kalau kita niatkan untuk silaturrahman atau mempererat tali ukhuwah
islamiya, maka dalam hal niatnya saja sudah mendapatkan reward (pahala).
Begitu pun dalam wisata, tour atau travel kalau kita niatkan untuk tafakur
fil khalkillah, berfikir tentang kebesaran dan kemaha kuasaan Allah insyallah
kita akan mendapatkan pahala juga.
Tapi lain lagi dalam urusan muamalah, dalam bidang ini tidak cukup dengan
hanya qashdu dan niatnya saja tapi, butuh implementasi dari qashdu
dan niat tersebut, contoh kecilnya ketika ingin jual-beli maka tidak cukup
dengan hanya qashdu dan niat saja, namun butuh interaksi dari kedua
belah pihak yakni bai’ dan mustari, serta memenuhi syarat dan
rukun jaul-beli tersebut, baru kemudian disebut dengan jual-beli, sehingga
jual-beli pun benar-benar terjadi dan sah.
Jejak di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Sumenep
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari kota Sampang Menuju
Kota sumenep, akhirnya sampai juga di Gedung Nasional Indonesia (GNI) dekat
Taman Bunga (TB) kota Sumenep untuk mengikuti Seminar Kepesantrenan yang
diadakan oleh Forum Komunikasi Santri Se-Madura (FOKSMA).
Seminar itu di hadiri oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton
Probolinggo KH. Moh. Zuhri Zaini BA, Sekaligus sebagai nara sumber atau penyaji
dalam acara tersebut, serta di hadiri juga oleh ketua Pembantu Pengurus Pondok
Pesantren Nurul Jadid (P4NJ) Pusat KH. Mursid Romli yang juga memberikan
sambutan dan juga menjadi nara sumber pengganti yang tidak bisa hadir untuk
mengisi acara seminar itu.
Banyak hal yang dapat saya ambil hikmah dan pelajaran dari seminar tersebut,
terlebih kajian mengenai silaturrahmi yang di bahas panjang lebar oleh beliau
KH. Moh. Zuhri Zaini BA, dengan dalil alquran dan hadist serta bentuk-bentuk
silaturrahmi yang meliputi: saling menyapa/salam, ziarah, berkomunikasi melalui
surat, telepon, facebook dll.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah memudahkan kita
semua untuk saling berbagi dan berkomunikasi, maraknya perkembangan jejaring
sosial, seperti facebook, twiter, salingsapa.com dan GTalk menjadi alterlatif
untuk mempererat tali ukhwah islamiyah, apalagi ditambah dengan
fitur-fitur yang lebih mendukung dan lebih memperjelas lagi, misalnya facebook
video call, yahoo massengger, skype atau yang menjadi tren dikalangan muda-mudi
sekarang adalah Black Barry Massengger (BBM-an) dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Maka sangat disayangkan sekali, jika di era globalisasi dan multi media
yang serba canggih ini masih banyak umat muslim yang qath’urrahim (memutus
tali kekeluargaan), karena jika hal itu terjadi maka akan menimbulkan
kerenggangan bahkan, bisa memicu konflik dan permusuhan sehingga hidup menjadi
sempit dan tidak tenang, sehingga banyak energi dan sumber daya yang hilang
sia-sia baik berupa materi, pikiran dan waktu, dawuh beliau.
Ada satu pesan beliau yang masih tergiang-giang dalam pikiran penulis yakni
“fokus pada tujuan hidup baik di dunia atau di akhirat” kalau di pandang
sepintas kata-kata itu memang tidak begitu menarik dan biasa-biasa saja, namun ketika refleksikan banyak sekali makna dan hikmah
yang terselubung didalamnya. Begitupun dengan KH. Mursid Romli, ada sebuah kata
bagus yang disampaikan beliau dalam seminar itu; “tidak ada kehidupan tanpa
ada perubahan, tidak ada perubahan tanpa adanya kebersamaan”.
Setelah mengikuti Seminar Kepesantrenan aku shalat dhuhur di masjid jami’
kota Sumenep, disana aku bertemu dengan pak Jazuli kemudian sungkem kepada
beliau. Masjid itu sangat menarik sekali, dengan design klasik yang
memesona, meski aku tidak bertanya tentang usia masjid itu, tapi aku yakin
masjid itu berusia puluhan tahun, karena melihat dari tampilannya sudah
menunjukan agak layu, seperti peninggalan kuno. Begitulah Sumenep yang dikenal
dengan kota Wisata, karena memang banyak peninggalan kerajaan pada masa belanda
serta potensi tempat wisata lainnya.
Jejak di Pantai Lombang Sumenep
Selesai shalat dhuhur aku berunding dengan pak Herman di taman bunga (tb),
untuk melanjutkan perjalanan, rencana ingin mengunjungi water park tapi urung
dengan dengan berbagai macam pertimbangan, akhirnya kita putuskan untuk mengunjungi
pantai lombang, sesampainya disana kita mengambil gambar bergantian, menikmati keindahan
pantai lombang, sungguh suasana yang sangat memikat hati pengunjungnya, dengan pantai
yang luas dan bersih serta di pinggirnya di tumbuhi cemara-cemara yang semakin
menyejukan mata, ingin rasa berlama-lama disana untuk menikmati keindahan
penciptaan-Nya.
Selain itu, banyak dibangun tenda-tenda yang berjejer di pinggir pantai itu,
entahlah apakah tenda itu merupakan tenda perkemahan atau sekedar tenda
perayaan hari lebaran, momen lebaran seperti saat ini memang dijadikan
kesempatan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, ada yang menggunakan
kuda dan juga ada yang menggunkan perahu untuk menjajaki dan menikmati luas dan
keindahan pantai lombang tersebut, pokoknya momen lebaran saat ini pantai
lombang sangat ramai sekali, biaya karcis masuk pun bisa dikatakan mahal sekali
yaitu Rp. 8500 perindividu dibanding karcis pantai lainnya.
Namun, bagi jiwa petualangan tidak akan pernah merasa mahal, apalagi ditambah
keindahan cemara-cemara yang menghiasi pantai lombang dari sepanjang jalan
masuk menuju pantai lombang yang tentu tidak dimiliki oleh pantai lainnya.
Orang tentu tidak akan pernah sadar, untuk melepas kebosanan dan kejenuhannya,
demi me-refresh pikirannya, dengan biaya sebesar apapun tentu mereka
akan membayarnya, maka rugi kiranya bagi antum yang suka berpetualangan
dan berwisata kalau tidak menikmati keindahan pantai lombang Sumenep.
Jejak di Pantai Badur Sumenep
Setelah lelah, memutar-mutar di sepanjang pantai lombang akhirnya, aku
melanjutkan perjalanan menuju pantai Badur Sumenep, namun sebelumnya aku
melepas lelah sebentar dirumahnya pak Herman, kemudian baru menuju pantai Badur
dengan biaya masuk gratis, biasa bareng anak pak kades. Pantai Badur tidak
kalah menariknya dengan pantai lombang hanya saja, lebih sempit dari pada pada
pantai lombang.
Di sebelah barat pantai ada sungai kecil yang mengalir, dengan air yang
sangat bening, di pinggir pantai paling barat ada batu-batu yang berhias diri,
aku pun mengambil gambar bergantian bersama rekanku Zuber, suasana yang tidak
cukup di gambarkan dengan hanya sekedar catatan namun butuh pembuktian, pantai
ini memang bisa dikatakan tidak begitu terawat jadi maklum jika pengunjungnya
tidak seramai di pantai Lombang.
Kemudian, setalah merasa capek keliling-keliling pantai Badur akhirnya, aku
duduk di bibir pantai sambil lalu menikmati rujak Badur, rasanya enak sekali
dan beda dengan rujak yang dijual dikampung halamanku, aku baru sadar bahwa Madura yang terdiri dari empat
kabupaten yang meliputi: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, tidak hanya
beda dari segi bahasanya saja tapi dalam segi makanan pun juga beda, seperti perbedaan
rujak Sumenep dan Sampang, meskipun kenyataannya memang sama rujak, benar
dikata bahwa soal rasa lidah tidak pernah bohong.
Menjelang terbit matahari, aku pun melanjutkan perjalanan untuk mandi di sumber
mata air di Desa Badur dekat pantai, aku sempat mendapat penjelasan dari seorang
warga disana, bahwa sumber air itu, tidak pernah surut meski musim kemarau tiba.
Setelah mandi aku melaksanakan shalat ashar berjamaah disebuah mushalla di
sebelah barat tempat pemandian, sangat tepat dan strategis sekali posisi tempat
ibadah itu, yaitu bersebelahan dengan sumber mata air yang sekaligus dijadikan
tempat pemandian warga, baru kemudian kembali ketempat penginapan.
Pagi harinya aku berpamitan, untuk pulang dan aku sempatkan untuk kembali
melihat keindahan pantai Badur, namun ada sedikit perubahan setelah aku sampai
disana, air laut tiba-tiba tampak pasang serta ombak yang agak besar semakin
menyempitkan bibir pantai, baru kemudian aku putuskan untuk segera kembali
menuju kepulangan. Namun sebelumnya, aku masih mampir di salah satu rumah teman
yang bernama Ainul Yaqin Mannan, dari sanalah aku melanjutkan perjalanan menuju
rumah keabadian.
Di sepanjang jalan raya, suasana ramai sekali, banyak kendaraan yang
berlalu-lalung maklum waktu itu kan bertepatan denga hari raya ketupat, katanya
sih kalau dikota-kota yang ramai itu memang waktu hari raya ketupat, jadi tidak
heran kalau waktu itu sangat ramai sekali. Aku pun juga menyempatkan singgah
sebentar di Talang Siring Pamekasan, suasannya juga ramai dan banyak
pengunjungnya, begitupun dengan pantai Camplong Sampang sangat ramai sekali,
dengan biaya karcis masuk sangat relatif murah dan bervariasi ada yang
manawarkan Rp. 1000 ada juga yang 1500 perindividu.
Sesampainya di kota Sampang, bertepatan adzan dhuhur akupun menyempatkan shalat
dhuhur di Masjid Jami’ Sampang, setelah shalat dhuhur aku bertemu dengan seorang
teman lamaku Moh. Nuri yang sekarang menempuh studi S-1-nya di Universitas
Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, aku pun menyempatkan diri untuk
bercakap-cakap sebentar dengannya, baru kemudian aku benar-benar melanjutkan
perjalanan menuju rumah kepulangan yang sesungguhnya. Catatan perjalanan pada
tanggal 14 Agustus sampai dengan 15 Agustus 2013.
*Serial Catatan dari Pulau Sebrang
menarik sekali,
BalasHapuscuma anda kurang membaca buku ilmiah, sehingga bahasa yang anda gunakan byak yg tidak sesuai dg EYD dan bahasa baku lainnya, seperti "sesampainya" dan "karcis" dua kata ini bahasa madura yang anda paksakan menjadi bahasa indonesia, ini sangat mengganggu sekali,
jadi, saran saya perbanyaklah membaca..
tetap semangat, dan teruskanlah berkarya.....