Welcome to farukfazhay.blogspot.com, blog ini diasuh oleh Umar Faruk Fazhay asal Jl. Raya Sawah Tengah Robatal Sampang Madura Jawa Timur Jejak Perjalanan Menuju Kota Sumenep ~ MENYELAMI MIMPI

Senin, 19 Agustus 2013

Jejak Perjalanan Menuju Kota Sumenep

Taufiqurrahman Al-Azizy dalam sebuah novelnya, pernah mendefinisikan hakikat sebuah perjalanan; “orang yang bepergian hanya satu yang dibawa yaitu maksud dan tujuan”. Ketika penulis mencoba diam sejenak (merenungkan), makna terselubung dari pada ungkapan itu, kemudian membandingkan dengan realitas yang ada, pernyataan tersebut memang sangat relevan dan masuk akal sekali, dan begitu lunak dan mudah di mengerti.

Maka kemudian penulis pun membenarkan bahwa dalam sebuah perjalanan, entah itu perjalanan yang bertujuan silaturrahmi, ziarah, wisata, mudik dan lain sebagainya. Hanya satu yang dibawa dan sekaligus menjadi bekal dalam perjalanannya ialah maksud dan tujuan, jadi meskipun dalam sebuah perjalanan, kita sudah membawa oleh-oleh ataupun hadiah dan sejenisnya. Maka jangan sekali-kali kita mengesampingkan maksud dan tujuan dibalik perjalanan tersebut.

Disinilah syariat islam membedakan antara pekerjaan yang sifatnya muamalah dan ibadah, kalau urusan yang berkaitan dengan ibadah dalam hal niatnya saja sudah mendapatkan pahala. Seperti dalam perjalanan main-main kerumah teman, kalau kita niatkan untuk silaturrahman atau mempererat tali ukhuwah islamiya, maka dalam hal niatnya saja sudah mendapatkan reward (pahala). Begitu pun dalam wisata, tour atau travel kalau kita niatkan untuk tafakur fil khalkillah, berfikir tentang kebesaran dan kemaha kuasaan Allah insyallah kita akan mendapatkan pahala juga.

Tapi lain lagi dalam urusan muamalah, dalam bidang ini tidak cukup dengan hanya qashdu dan niatnya saja tapi, butuh implementasi dari qashdu dan niat tersebut, contoh kecilnya ketika ingin jual-beli maka tidak cukup dengan hanya qashdu dan niat saja, namun butuh interaksi dari kedua belah pihak yakni bai’ dan mustari, serta memenuhi syarat dan rukun jaul-beli tersebut, baru kemudian disebut dengan jual-beli, sehingga jual-beli pun benar-benar terjadi dan sah.

Jejak di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Sumenep
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari kota Sampang Menuju Kota sumenep, akhirnya sampai juga di Gedung Nasional Indonesia (GNI) dekat Taman Bunga (TB) kota Sumenep untuk mengikuti Seminar Kepesantrenan yang diadakan oleh Forum Komunikasi Santri Se-Madura (FOKSMA).

Seminar itu di hadiri oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo KH. Moh. Zuhri Zaini BA, Sekaligus sebagai nara sumber atau penyaji dalam acara tersebut, serta di hadiri juga oleh ketua Pembantu Pengurus Pondok Pesantren Nurul Jadid (P4NJ) Pusat KH. Mursid Romli yang juga memberikan sambutan dan juga menjadi nara sumber pengganti yang tidak bisa hadir untuk mengisi acara seminar itu.

Banyak hal yang dapat saya ambil hikmah dan pelajaran dari seminar tersebut, terlebih kajian mengenai silaturrahmi yang di bahas panjang lebar oleh beliau KH. Moh. Zuhri Zaini BA, dengan dalil alquran dan hadist serta bentuk-bentuk silaturrahmi yang meliputi: saling menyapa/salam, ziarah, berkomunikasi melalui surat, telepon, facebook dll.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah memudahkan kita semua untuk saling berbagi dan berkomunikasi, maraknya perkembangan jejaring sosial, seperti facebook, twiter, salingsapa.com dan GTalk menjadi alterlatif untuk mempererat tali ukhwah islamiyah, apalagi ditambah dengan fitur-fitur yang lebih mendukung dan lebih memperjelas lagi, misalnya facebook video call, yahoo massengger, skype atau yang menjadi tren dikalangan muda-mudi sekarang adalah Black Barry Massengger (BBM-an) dan masih banyak lagi yang lainnya.

Maka sangat disayangkan sekali, jika di era globalisasi dan multi media yang serba canggih ini masih banyak umat muslim yang qath’urrahim (memutus tali kekeluargaan), karena jika hal itu terjadi maka akan menimbulkan kerenggangan bahkan, bisa memicu konflik dan permusuhan sehingga hidup menjadi sempit dan tidak tenang, sehingga banyak energi dan sumber daya yang hilang sia-sia baik berupa materi, pikiran dan waktu, dawuh beliau.

Ada satu pesan beliau yang masih tergiang-giang dalam pikiran penulis yakni “fokus pada tujuan hidup baik di dunia atau di akhirat” kalau di pandang sepintas kata-kata itu memang tidak begitu menarik dan biasa-biasa saja, namun  ketika refleksikan banyak sekali makna dan hikmah yang terselubung didalamnya. Begitupun dengan KH. Mursid Romli, ada sebuah kata bagus yang disampaikan beliau dalam seminar itu; “tidak ada kehidupan tanpa ada perubahan, tidak ada perubahan tanpa adanya kebersamaan”.

Setelah mengikuti Seminar Kepesantrenan aku shalat dhuhur di masjid jami’ kota Sumenep, disana aku bertemu dengan pak Jazuli kemudian sungkem kepada beliau. Masjid itu sangat menarik sekali, dengan design klasik yang memesona, meski aku tidak bertanya tentang usia masjid itu, tapi aku yakin masjid itu berusia puluhan tahun, karena melihat dari tampilannya sudah menunjukan agak layu, seperti peninggalan kuno. Begitulah Sumenep yang dikenal dengan kota Wisata, karena memang banyak peninggalan kerajaan pada masa belanda serta potensi tempat wisata lainnya.

Jejak di Pantai Lombang Sumenep
Selesai shalat dhuhur aku berunding dengan pak Herman di taman bunga (tb), untuk melanjutkan perjalanan, rencana ingin mengunjungi water park tapi urung dengan dengan berbagai macam pertimbangan,  akhirnya kita putuskan untuk mengunjungi pantai lombang, sesampainya disana kita mengambil gambar bergantian, menikmati keindahan pantai lombang, sungguh suasana yang sangat memikat hati pengunjungnya, dengan pantai yang luas dan bersih serta di pinggirnya di tumbuhi cemara-cemara yang semakin menyejukan mata, ingin rasa berlama-lama disana untuk menikmati keindahan penciptaan-Nya.

Selain itu, banyak dibangun tenda-tenda yang berjejer di pinggir pantai itu, entahlah apakah tenda itu merupakan tenda perkemahan atau sekedar tenda perayaan hari lebaran, momen lebaran seperti saat ini memang dijadikan kesempatan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, ada yang menggunakan kuda dan juga ada yang menggunkan perahu untuk menjajaki dan menikmati luas dan keindahan pantai lombang tersebut, pokoknya momen lebaran saat ini pantai lombang sangat ramai sekali, biaya karcis masuk pun bisa dikatakan mahal sekali yaitu Rp. 8500 perindividu dibanding karcis pantai lainnya.

Namun, bagi jiwa petualangan tidak akan pernah merasa mahal, apalagi ditambah keindahan cemara-cemara yang menghiasi pantai lombang dari sepanjang jalan masuk menuju pantai lombang yang tentu tidak dimiliki oleh pantai lainnya. Orang tentu tidak akan pernah sadar, untuk melepas kebosanan dan kejenuhannya, demi me-refresh pikirannya, dengan biaya sebesar apapun tentu mereka akan membayarnya, maka rugi kiranya bagi antum yang suka berpetualangan dan berwisata kalau tidak menikmati keindahan pantai lombang Sumenep.

Jejak di Pantai Badur Sumenep
Setelah lelah, memutar-mutar di sepanjang pantai lombang akhirnya, aku melanjutkan perjalanan menuju pantai Badur Sumenep, namun sebelumnya aku melepas lelah sebentar dirumahnya pak Herman, kemudian baru menuju pantai Badur dengan biaya masuk gratis, biasa bareng anak pak kades. Pantai Badur tidak kalah menariknya dengan pantai lombang hanya saja, lebih sempit dari pada pada pantai lombang.

Di sebelah barat pantai ada sungai kecil yang mengalir, dengan air yang sangat bening, di pinggir pantai paling barat ada batu-batu yang berhias diri, aku pun mengambil gambar bergantian bersama rekanku Zuber, suasana yang tidak cukup di gambarkan dengan hanya sekedar catatan namun butuh pembuktian, pantai ini memang bisa dikatakan tidak begitu terawat jadi maklum jika pengunjungnya tidak seramai di pantai Lombang.
Kemudian, setalah merasa capek keliling-keliling pantai Badur akhirnya, aku duduk di bibir pantai sambil lalu menikmati rujak Badur, rasanya enak sekali dan beda dengan rujak yang dijual dikampung halamanku, aku baru sadar  bahwa Madura yang terdiri dari empat kabupaten yang meliputi: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, tidak hanya beda dari segi bahasanya saja tapi dalam segi makanan pun juga beda, seperti perbedaan rujak Sumenep dan Sampang, meskipun kenyataannya memang sama rujak, benar dikata bahwa soal rasa lidah tidak pernah bohong.

Menjelang terbit matahari, aku pun melanjutkan perjalanan untuk mandi di sumber mata air di Desa Badur dekat pantai, aku sempat mendapat penjelasan dari seorang warga disana, bahwa sumber air itu, tidak pernah surut meski musim kemarau tiba. Setelah mandi aku melaksanakan shalat ashar berjamaah disebuah mushalla di sebelah barat tempat pemandian, sangat tepat dan strategis sekali posisi tempat ibadah itu, yaitu bersebelahan dengan sumber mata air yang sekaligus dijadikan tempat pemandian warga, baru kemudian kembali ketempat penginapan.

Pagi harinya aku berpamitan, untuk pulang dan aku sempatkan untuk kembali melihat keindahan pantai Badur, namun ada sedikit perubahan setelah aku sampai disana, air laut tiba-tiba tampak pasang serta ombak yang agak besar semakin menyempitkan bibir pantai, baru kemudian aku putuskan untuk segera kembali menuju kepulangan. Namun sebelumnya, aku masih mampir di salah satu rumah teman yang bernama Ainul Yaqin Mannan, dari sanalah aku melanjutkan perjalanan menuju rumah keabadian.

Di sepanjang jalan raya, suasana ramai sekali, banyak kendaraan yang berlalu-lalung maklum waktu itu kan bertepatan denga hari raya ketupat, katanya sih kalau dikota-kota yang ramai itu memang waktu hari raya ketupat, jadi tidak heran kalau waktu itu sangat ramai sekali. Aku pun juga menyempatkan singgah sebentar di Talang Siring Pamekasan, suasannya juga ramai dan banyak pengunjungnya, begitupun dengan pantai Camplong Sampang sangat ramai sekali, dengan biaya karcis masuk sangat relatif murah dan bervariasi ada yang manawarkan Rp. 1000 ada juga yang 1500 perindividu.

Sesampainya di kota Sampang, bertepatan adzan dhuhur akupun menyempatkan shalat dhuhur di Masjid Jami’ Sampang, setelah shalat dhuhur aku bertemu dengan seorang teman lamaku Moh. Nuri yang sekarang menempuh studi S-1-nya di Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, aku pun menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sebentar dengannya, baru kemudian aku benar-benar melanjutkan perjalanan menuju rumah kepulangan yang sesungguhnya. Catatan perjalanan pada tanggal 14 Agustus sampai dengan 15 Agustus 2013.


*Serial Catatan dari Pulau Sebrang

1 komentar:

  1. menarik sekali,
    cuma anda kurang membaca buku ilmiah, sehingga bahasa yang anda gunakan byak yg tidak sesuai dg EYD dan bahasa baku lainnya, seperti "sesampainya" dan "karcis" dua kata ini bahasa madura yang anda paksakan menjadi bahasa indonesia, ini sangat mengganggu sekali,
    jadi, saran saya perbanyaklah membaca..
    tetap semangat, dan teruskanlah berkarya.....

    BalasHapus