Berbicara Gili Mandangin Sampang, membuat ingatanku flasback pada
kejadian yang hampir merengut seluruh nafas, jiwa dan ragaku, sampai detik ini
tetap membekas di dalam sanubari dan memori otakku, kejadian itu terjadi 13
tahun yang lalu, dimana aku masih duduk di kelas 3 SD tentu usia yang bisa
dikatakan masih begitu balita, dan menjadi kebanggaan bagi setiap orang tua.
Satu hari sebelum kejadian yang telah merengut perhatian seluruh masyarakat
di sekitar rumahku, aku menangis sesegukan (red: kaderui) karena tidak diizini
ikut serta dalam mengantarkan manten ke pulau Gili Mandangin itu, waktu itu aku
sangat kecewa sekali, maklum masih bocah ingusan yang kurang tahu-menahu
tentang arti sebuah perjalanan, yang terlintas dalam pikiranku hanyalah
kesenangan.
Peristiwa yang memilukan itu terjadi, bertepatan pada bulan Maulid Nabi,
dimana waktu itu orang-orang berbodong-bondong pergi kondangan, kampung
halamanku terlihat sepi. Bermula saat aku ingin membantu ibuku untuk mengisi
jeding dengan pompa air alias sanyo, karena aku tidak kuat mengangkat sanyonya
aku minta tolong ibu untuk membantuku memindah sanyo itu ke sumur, setelah aku
menyambung kabel-kabel sanyo tersebut, aku mencoba menghubungkan kabel-kabel
sanyo tersebut ke kabel listrik meteran yang berjarak jauh dari atas kepalaku.
Namun, tak pernah kusangka sebelumnya, bahwa kabel yang aku pegang untuk
mengalirkan arus listrik ke sanyo itu adalah kabel yang mengelupas kulitnya
(red: kabel bengkang), aku pun tersedot oleh tegangan arus listrik tersebut,
sementara ibuku menangis dan menjerit meminta tolong kesana-kemari, tak satu
pun orang yang datang memenuhi jeritannya, maklum pada saat itu halaman kampung
sepi sekali orang-orang pada pergi kondangan, sementara kondisi tubuhku masih
dikuasai arus listrik.
Entah selang beberapa detik kemudian, pak Samin menolongku dengan membawa
bambu panjang untuk memutus kabel sanyo yang terhubung ke kabel listrik meteran
yang berada jauh di atas kepalaku, aku pun tergeletak tak sadarkan diri, dengan
lilitan kabel sanyo pada jari telunjukku, entah bagaimana kejadianya setelah
itu aku tidak sadarkan diri, yang pasti setelah aku siuman aku hanya melihat
banyak orang yang datang mengerumuniku, dengan posisi tubuh masih terkapar di
sawah dekat sumur itu, kemudian setelah aku benar-benar sadar aku pun di
gendong menuju rumah.
Jejak di Tanglok Sampang
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam dari rumahku, menuju
kota Sampang. Akhirnya aku putuskan untuk naik becak motor, hal ini kulakukan
karena mengejar waktu jam berangkat kapal, namun setelah aku sampai disana
ternyata masih menunggu lama, kurang lebih sekitar 2 jam aku mendekam dalam
penantian yang kurasa sangat melelahkan dan membosankan.
Awalnya aku dan seorang temanku memilih kapal Dermaga, namun karena kapal
tersebut sudah disewa untuk memuat rombongan manten, akhirnya kita sepakat
untuk ikut kapal Sinar Laut, karena memang satu jalur yaitu berlabuh di dermaga
Gili Barat juga. Setelah lalu-lalang pedagangan asongan yang menjual, kacang,
air mineral, sarkoyo dan ikan-ikan kecil di sungai serta para penumpang kapal
yang semakin sesak berdesakan, akhirnya kapal pun berangkat menyibak sungai
membelah lautan.
Banyak hal yang dapat ku ambil pelajaran dari menyebrang lautan, salah
satunya adalah adanya gelombang yang bertingkat-tingkat; ada yang besar dan
juga ada yang datar, di tengah laut ketika gelombang menghantam-hantam, aku teringat
pada sebuah pribahasa: “Pelaut yang handal, akan melahirkan gelombang yang
tenang”. Pribahasa ini, memang sangat sesuai denga realitas yang ada,
buktinya ketika aku sedang berada ditengah lautan, ditengah besarnya gelombang,
yang hampir mengeluarkan makanan dalam perutku serta menghantam dan
membolak-balikan kapal yang ditumpangiku, rupanya masih ada nelayan dengan
perahu-perahu kecilnya, yang tampak begitu tenang mengais rizeki di lautan,
yang membuatku semakin terharu dan kagum nelayan itu kadang ada yang sendirian,
mereka tampak begitu asik dan bersahabat dengan gelombang.
Jejak di Dermaga Gili Mandangin
Setelah menempuh perjalanan 2 jam setengah, akhirnya kapal Sinar Laut yang
ditumpangiku, berlabuh di Dermaga Gili Barat, kemudian seorang teman yang
bersamaku, menghubungi Rahim, sebagai teman, guid dan juga
sebagai tempat berteduh melepas lelah dan menghabiskan malamku dirumahnya.
Kemudian dia pun membawaku dan seorang temanku menuju rumahnya, dengan menaiki
sepeda Mio.
Rumahnya sangat sederhana, serta design kamar mandi yang
sedikit berbeda. Apa keunikan dan perbedaan antara kamar mandi masyarakat Gili
Mandangin dan kamar mandi masyarat Sampang lainnya?. Perbedaannya adalah
terletak pada sumur mungil yang pasti ada pada kamar mandi, disetiap rumah
penduduknya.
Setelah melaksanakan ibadah shalat dhuhur, aku menikmati rujak kas Gili
Mandangin, rasa enak sekali pengen nambah tapi gimana lagi, seorang tamu harus
berprilaku sopan dan harus memberikan kesan yang baik, tidak rakus dan menarik
serta menyenangkan.
Sore harinya, aku berjalan-jalan menuju pasir putih dan rumah teman
lainnya, namun sayang teman yang aku tuju sedang tidak ada dirumahnya. Kemudian
saya lanjutkan menuju Candi yang merupakan tempat wisata masyarakat Gili
Mandangin, saat merayakan hari-hari besar seperti hari raya dan semacamnya,
namun ketika bulan purnama tiba, kebanyakan masyarakat Gili Mandangin menikmati
keindahan bulan purnama itu di pasir putih, ujar Rahim yang mendampingiku,
dalam perjalanan keliling Kampung Gili Mandangin itu.
Ketika matahari sudah mulai terbenam dan malam sudah membentangkan jubah
nya, aku pun kembali menuju rumah penginapan, disepanjang perjalanan menuju
rumah penginapan, aku memperhatikan rumah-rumah penduduk Gili Mandangin yang
penuh dengan gang-gang kecil seperti layaknya gang-gang kecil yang ada di kota
Surabaya, sangat ramai sekali, banyak masyarakat yang berlalu-lalang ada yang
berjalan kaki dan juga ada yang menaiki sepeda motor.
Tidak lama kemudian, adzan pun berkumandang dan aku pun mengajak Rahim
sebagai guid dan driver untuk melaksanakan
shalat magrib di masjid. Meski masih belum terlihat rampung seluruhnya, masjid
itu terlihat megah dan memesona sekali, dengan design interior dan modern.
Pokoknya aku jamin, bisa membuat betah bagi umat muslim yang ingin ber-iktikaf didalamnya.
Setelah itu, aku menuju rumah Rahim, rupanya sesampainya disana aku sudah
disiapin menu makan malam oleh orang tua Rahim, dengan lauk yang cukup
sederhana yakni; ikan panggang dan ikan yang direbus dengan santan. Rasanya
makan malamku kurang begitu enak, maklum aku kurang begitu suka dengan ikan
laut, untunglah barusan seorang temanku Adin yang juga ikut serta dalam
perjalanan barusan, membeli mie ayam menu kesukaanku, meski rasanya sangat
berbeda dengan mie ayam biasanya.
Setelah melaksanakan shalat isya’ aku pun kembali berjalan menuju Dermaga,
menikamti keindahan malam, bintang-bintang, bulan sabit, kapal-kapal yang di
goyang-goyang gelombang serta luasnya lautan. Pemandangan yang sangat menarik
dan menakjubkan, sambil lalu ber-tafakkur fil khalkillah, aku pun
juga menyempatkan diri melahirkan sebuah sajak dan puisi di tengah hembusan
angin kencang yang membuat debu berhamburan.
Tidak lama kemudian, akhirnya aku pun merasa keok dengan hembusan angin
malam yang begitu kencang serta debu-debu yang menyesakan pernafasan. Aku
putuskan untuk kembali kepemukiman, rencanya ingin online tapi,
sayang warnetnya sedang rusak dalam proses perbaikan.
Bermalam di Gili Mandangin merupakan sebuah tantang besar, mengapa
demikian?. Karena disana kita akan berhadapan dengan angin besar, adem dan
dingin sekali. Terlebih ketika, waktu pagi hari, waduh dingin sekali rasanya.
Pagi sebelum menuju kepulangan aku bersarapan, dengan lauk cumi-cumi yang masih
baru saja diangkat dari tempat penggorengan, serta nasi yang masih hangat,
rasanya nikmat sekali ketika menyantapnya di tengah kepungan hawa dingin yang
mencekam.
Jam setengah 6 pagi, aku siap-siap untuk menuju pelabuhan kapal, baru
ketika jam 6 pas, kapal itu berangkat membawa tubuhku menuju kota Sampang,
tidak ada yang beda dalam perjalanan pulang kali ini, hanya para nelayan yang
semakin penuh dan berjejal memenuhi lautan, mereka berjejer seolah membentuk
barisan dengan perahu-perahu kecil, jala-jala dan layar-layar. Begitulah resum
perjalananku menuju pulau Gili Mandangin Sampang Madura, pada hari Minggu
tanggal 11 Agustus 2013 sampai dengan hari Senin tanggal 12 Agustus 2013.
Semoga bermanfaat, amin.(*)
*Serial catatan dari pulau sebrang