Welcome to farukfazhay.blogspot.com, blog ini diasuh oleh Umar Faruk Fazhay asal Jl. Raya Sawah Tengah Robatal Sampang Madura Jawa Timur Melaah Euforia Santri Menjelang Liburan ~ MENYELAMI MIMPI

Selasa, 11 Februari 2014

Melaah Euforia Santri Menjelang Liburan


Dalam kamus KKBI digital dijelaskan bahwa euforia adalah perasaan nyaman atau gembira yang berlebihan.  Kemudian apa kaitannya dengan liburan santri?. Ada beberapa hal yang perlu dikaji dan ditelaah ulang mengenai liburan santri tersebut. Karena masih banyak diantara para santri yang belum paham hakikat dari liburan itu sendiri, apalagi bagi kalangan mereka yang beranggapan bahwa pesantren merupakan sebuah sangkar, kurungan atau yang lumrah dikalangan santri dengan sebutan penjara suci.

Ketika klaim pesantren sebagai penjara itu masih termaktub dan melekat dalam benak santri maka akan timbullah sebuah krakter yang tidak baik (hewani), yang mana prilaku tersebut akan kelihatan atau tampak pada saat menjelang hari liburan. Sebagai analogikanya adalah sebuah merpati jantan yang dikurung beberapa bulan dalam sangkar, ketika ia dilepas hal yang pertama yang akan ia lakukan adalah terbang setinggi-tingginya, lantas kemudian mencari betina. Semoga kita bukan termasuk santri yang seperti itu. Amin.

Selanjutnya bagaimana dengan santri?. Biasanya santri yang tertekan hidupnya dalam pesantren, atau yang beranggapan bahwa pesantren adalah penjara. Hal yang mereka lakukan pertama saat mau pulang adalah dengan cara melepas kopyah atau peci dan sarung atau kalau santri putri bisa jadi menggati jilbab dan busananya, dengan pakaian yang keren dan tredy versi zaman moders saat ini, nauzubillah mindzalik. Apalagi bagi para santri yang sudah paham atau terdoktrin bahwa kopyah atau peci itu adalah produk budaya Arab, tentu mereka akan anti sama yang namanya sarung dan peci.

Padahal realitasnya sudah jelas tercatat dalam sejarah, bahwa budaya peci itu juga identik bagi rakyat Indonesia, yang bermula dari sosok Soekarno. Konon, setelah menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan para pembantunya pada tahun 1942. Soekarno mampir ke Pesantren Darul Funun al Abbasiyah, di desa Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat asuhan Syekh Abbas Abdullah sahabatnya.

Syekh Abbas menghadiahi Soekarno peci hitam sambil berpesan “Peci ini kuberikan supaya Indonesia berdasarkan ketuhanan dan kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam.” Akhirnya, peci hitam itu menjadi ciri khas visual proklamasi dan perjuangan Soekarno di tahun-tahun kemudian.

Peci itu menjadi benda seni yang mewakili kehebatan sosok yang memiliki andil besar dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di kemudian hari, bahkan menjadi ciri khas orang Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa, akhirnya mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan hingga sekarang diikuti dan menjadi bagian penting dari busana resmi presiden-presiden Indonesia. Lihat saja, Presiden selanjutnya, Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur, dan Susilo Bambang Yodoyono tampil dengan peci sebagai baju resmi kepresidenan.

Jadi pantas kiranya, jika seandainya kita mempertahankan budaya berpeci dimanapun kita berada sebagai identitas kekal santri. Meskipun hukum asalnya adalah sunnah bagi laki-laki saat sholat (HR Bukhari I/498, Muslim hadits No 516), memasuki kamar kecil dan didaerah yang kebiasaan tempatnya memakai tutup kepala (Bughyah Al Mustarsyidin I/182). Selain itu juga untuk menjaga Keperwiraan (wibawa) seorang santri agar beretika sesuai dengan kalangan, waktu dan tempatnya.

Penulis sendiri menyadari, bahwa bagaimanapun ekspresi yang ditampilkan para santri ketika liburan. Semua itu merupakan manusiawi, namun meskipun demikian setidaknya harus ada filterisasi yang kemudian tidak melalaikan pada kewajibannya sebagai seorang santri, syukur-syukur bisa menjaga dan mempertahankan identitasnya dimanapun berada, sebagaimana pernah didawauhkan oleh alm. KH. Abd Haq Zaini: “Santri itu merupakan Identitas Abadi”. Jadi dimanapun berada harus tetap mempertahankan nilai-nilai kesantriannya.

Kesimpulan akhirnya adalah tetap penulis kembalikan kepada keyakinan masing-masing. Ambilah yang baik, dan buanglah yang jelek. Karena sesungguhnya libur yang cuman bisa dihitung dengan jari ini bisa jadi menghapus bahkan menghanguskan segala riyadah yang sudah kita kerjakan selama berbulan-bulan dalam pesantren, sebaliknya hal tersebut bisa jadi berdampak positif dengan cara mengimplementasikan keilmuan yang kita peroleh dalam pesantren ditengah masyarakat secara nyata. Karena hakikat libur yang sebenarnya adalah ujian dari Allah, ujian dari pengasuh serta ujian dari pesantren. Waallahu’alam

dimuat di Buletin KAMAL edisi 10
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar