Dalam kamus KKBI digital dijelaskan bahwa euforia adalah perasaan nyaman
atau gembira yang berlebihan. Kemudian
apa kaitannya dengan liburan santri?. Ada beberapa hal yang perlu dikaji dan
ditelaah ulang mengenai liburan santri tersebut. Karena masih banyak diantara
para santri yang belum paham hakikat dari liburan itu sendiri, apalagi bagi
kalangan mereka yang beranggapan bahwa pesantren merupakan sebuah sangkar,
kurungan atau yang lumrah dikalangan santri dengan sebutan penjara suci.
Ketika klaim pesantren sebagai penjara itu masih termaktub dan melekat dalam
benak santri maka akan timbullah sebuah krakter yang tidak baik (hewani), yang
mana prilaku tersebut akan kelihatan atau tampak pada saat menjelang hari
liburan. Sebagai analogikanya adalah sebuah merpati jantan yang dikurung
beberapa bulan dalam sangkar, ketika ia dilepas hal yang pertama yang akan ia
lakukan adalah terbang setinggi-tingginya, lantas kemudian mencari betina.
Semoga kita bukan termasuk santri yang seperti itu. Amin.
Selanjutnya bagaimana dengan santri?. Biasanya santri yang tertekan
hidupnya dalam pesantren, atau yang beranggapan bahwa pesantren adalah penjara.
Hal yang mereka lakukan pertama saat mau pulang adalah dengan cara melepas
kopyah atau peci dan sarung atau kalau santri putri bisa jadi menggati jilbab
dan busananya, dengan pakaian yang keren dan tredy versi zaman moders saat ini,
nauzubillah mindzalik. Apalagi bagi para santri yang sudah paham atau
terdoktrin bahwa kopyah atau peci itu adalah produk budaya Arab, tentu mereka
akan anti sama yang namanya sarung dan peci.
Padahal realitasnya sudah jelas tercatat dalam sejarah, bahwa
budaya peci itu juga identik bagi rakyat Indonesia, yang bermula dari sosok Soekarno.
Konon, setelah menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan para
pembantunya pada tahun 1942. Soekarno mampir ke Pesantren Darul Funun al
Abbasiyah, di desa Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera
Barat asuhan Syekh Abbas Abdullah sahabatnya.
Syekh Abbas menghadiahi
Soekarno peci hitam sambil berpesan “Peci ini kuberikan supaya Indonesia
berdasarkan ketuhanan dan kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas
umat Islam.” Akhirnya, peci hitam itu menjadi ciri khas visual proklamasi dan
perjuangan Soekarno di tahun-tahun kemudian.
Peci itu menjadi benda
seni yang mewakili kehebatan sosok yang memiliki andil besar dengan proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Di kemudian hari, bahkan menjadi ciri khas orang
Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa, akhirnya
mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan hingga sekarang
diikuti dan menjadi bagian penting dari busana resmi presiden-presiden Indonesia.
Lihat saja, Presiden selanjutnya, Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur, dan Susilo
Bambang Yodoyono tampil dengan peci sebagai baju resmi kepresidenan.
Jadi pantas
kiranya, jika seandainya kita mempertahankan budaya berpeci dimanapun kita
berada sebagai identitas kekal santri. Meskipun hukum asalnya adalah sunnah
bagi laki-laki saat sholat (HR Bukhari I/498, Muslim
hadits No 516), memasuki kamar
kecil dan didaerah yang kebiasaan tempatnya memakai tutup kepala (Bughyah Al Mustarsyidin I/182). Selain itu juga untuk menjaga Keperwiraan (wibawa) seorang santri agar
beretika sesuai dengan kalangan, waktu dan tempatnya.
Penulis sendiri menyadari, bahwa bagaimanapun ekspresi yang ditampilkan
para santri ketika liburan. Semua itu merupakan manusiawi, namun meskipun demikian
setidaknya harus ada filterisasi yang kemudian tidak melalaikan pada
kewajibannya sebagai seorang santri, syukur-syukur bisa menjaga dan
mempertahankan identitasnya dimanapun berada, sebagaimana pernah didawauhkan
oleh alm. KH. Abd Haq Zaini: “Santri itu merupakan Identitas Abadi”. Jadi
dimanapun berada harus tetap mempertahankan nilai-nilai kesantriannya.
Kesimpulan akhirnya adalah tetap penulis kembalikan kepada keyakinan
masing-masing. Ambilah yang baik, dan buanglah yang jelek. Karena sesungguhnya
libur yang cuman bisa dihitung dengan jari ini bisa jadi menghapus bahkan
menghanguskan segala riyadah yang sudah kita kerjakan selama
berbulan-bulan dalam pesantren, sebaliknya hal tersebut bisa jadi berdampak
positif dengan cara mengimplementasikan keilmuan yang kita peroleh dalam
pesantren ditengah masyarakat secara nyata. Karena hakikat libur yang sebenarnya
adalah ujian dari Allah, ujian dari pengasuh serta ujian dari pesantren. Waallahu’alam
dimuat di Buletin KAMAL edisi 10