Welcome to farukfazhay.blogspot.com, blog ini diasuh oleh Umar Faruk Fazhay asal Jl. Raya Sawah Tengah Robatal Sampang Madura Jawa Timur Pudarnya Budaya Tafaqquh Fiddin ~ MENYELAMI MIMPI

Jumat, 11 Oktober 2013

Pudarnya Budaya Tafaqquh Fiddin

















Sebelum melangkah lebih jauh, pada pokok kajian alangkah baiknya jika memahami pengertian pesantren terlebih dahulu. Mungkin kemudian timbul sebuah pertanyaan dibenak pembaca yang budiman. Apa hubungannya pesantren dan tafaqquh fiddin?. Perlu kita ketahui bersama bahwa istilah tafaqquh fiddin pertama kali dipopulerkan oleh kalangan pesantren.

Pesantren pada mulanya adalah sebuah lembaga pendidikan yang dijadikan sebuah wadah untuk memahami, memperdalam dan mengembangkan ajaran-ajaran keislaman (tafaqquh fiddin). Pesantren pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M yang berfokus pada penyebaran agama islam di Jawa. Selanjutnya tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pesantren pertama didirikan di Kembangkuning, yang waktu itu hanya dihuni oleh tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Melalui lembaga pesantren inilah kemudian Raden Rahmat membagikan wawasan keislamannya, sehingga kemudian berhasil menelurkan santri yang tafaqquh fiddin dan mampu mendirikan pesantren sendiri.

Ada beberapa keunikan yang sifatnya eksotis yang harus kita pengang teguh bersama. Yaitu tentang sebuah istilah pengajar, pelajar dan modul dalam pesantren. Hal serupa tapi tidak bisa di serupakan, hal sama tapi tidak bisa disamakan dengan lembaga pendidikan lainnya. Di pesantren kita mengenal santri, kyai dan kitab yang tentu tidak bisa kita samakan secara mutlak, dengan yang namanya murid, guru dan buku. Karena memiliki filosofi tersendiri, meskipun hakikatnya sama.

Sedangkan tafaqquh fiddin itu sendiri adalah paham (memperdalam) ilmu agama, namun belakangan ini tafaqquh fiddin dirasa mulai memudar di kalangan pesantren. Sebagaimana pernah di sampaikan oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ace Saifuddin pada tanggal 22 Juli 2013 lalu, Dalam sebuah forum yang diadakan oleh KEMENAG yang membahas tafaqquh fiddin pesantren.Dalam forum yang dihadiri oleh 120 kyai dan pengasuh pondok pesantren itu, beliau menuturkan bahwa pesantren sekarang dirasa mengalami degradasi kualitas akademik dalam menjalankan perannya sebagai lembaga “tafaqquh fiddin”.

Menurut analisis penulis, ada beberapa faktor yang melatar belakangi degradasi kualitas akademik pesantren sebagai lembaga “tafaqquh fiddin”. Pertama adalah mendominasinya mata pelajaran yang tidak se-arah dengan tujuan tafaqquh fiddin. Kedua metode pembelajaran yang tidak inovatif atau cendrung monoton. Ketiga keberadaan pendidik yang kurang mengusai pada materi sehingga kemudian, materi yang sebenarnya mudah dan cepat dipahami berubah menjadi sukar dan sulit dipahami.

Meskipun realitasnya, memberi pemahaman ilmu agama di zaman yang edan ini sangat sukar sekali. Apalagi bagi mereka para santri khususnya dan pelajar umumnya yang sudah kadung terpengaruh oleh budaya instan, tidak mau larut dalam proses atau karena sudah terlanjur mendalami ilmu pengetahuan lainnya (yang tidak langsung menjurus pada tafaqquh fiddin). Hal ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi para Kyai dan Ustadz. Maka dari itu, perlunya langkah krearif dan inovatif, baik itu dari segi modul yang disajikan ataupun metode pengajaran. Untuk memancing kembali semangat dalam ber-tafaqquh fiddin.

Ajaran islam yang bersumber dari al-Qur’an, Hadist serta kitab klasik maupun kontemporer merupakan sesuatu yang sangat sulit di pahami dibandingkan dengan buku terjemahan yang sifatnya instan dan terbuka. Selain membutuhkan pengetahuan yang mempuni dalam bidang gramatika bahasa Arab (nahwu dan sorrof) sebagai keyword-nya, juga dituntut memahami budaya mereka (orang Arab) untuk memberikan pemahaman yang sempurna.

Oleh karena itu, para kyai dan ustadz yang tanggap akan kondisi yang sedang menimpa para santri saat ini. Maka mereka akan mencarikan alternatif dan solusi untuk mempertahankan dan melestarikan kajian-kajian keislaman yang bersumber dari karya ulama salaf, sehingga kemudian dari mereka banyak menciptakan metode baru yang sangat relevan, mendukung dan cocok untuk diajarkan kepada para santrinya. Seperti metode cepat belajar tahwid, metode cepat membaca al-Qur’an, metode cepat belajar gramatika Arab, Metode cepat membaca kitab, serta metode cepat menghafalkan nadzam-nadzan sampai dengan metode cepat menghafal al-Qur’an. Langkah-langkah solutif seperti inilah yang kemudian banyak dilirik, diperhatikan dan diikuti oleh para santri yang menimba ilmu dalam pesantren, terlebih bagi para santri yang ikut andil dalam mempertahankan dan menyengarkan kembali momentum tafaqquh fiddin yang selama ini dirasa mulai meredup.

Selain itu mendalami ilmu agama, adalah suatu perjuangan atau bisa dikatakan jihad yang sangat besar sekali sebagaimana disampaikan Al-Qudamiy “Sesungguhnya mempelajari ilmu dan mendalami agama adalah jihad (perang) yang besar.” Jihad melawan rasa rindu, Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan rasa minder (konservatif), jihad melawan rasa lapar, dan jihad yang lainnya yang kerap kali mendera para santri yang berusaha mendapatkan pusaka tafaqquh fiddin.

Selain metode dan penyampaian materi pembelajaran yang efektif, perlu juga memberikan motivasi atau stimulasi bagi para santri untuk selalu bersemangat dalam bertafaqquh fiddin. Karena belakangan ini dirasa sudah banyak  sekali yang mengesampingkan motivasi tersebut, padahal mamfaat dibalik motivasi tersebut sangat besar sekali. Dengan adanya motivasi suatu yang sifatnya mustahil bisa jadi mungkin dan bisa di capai. Dalam hal ini kreatifitas seorang pendidik diperlukan sekali terlebih ketika berada didalam kelas, sehingga kemudian kelas tersebut bisa menjadi hidup.

Ketika semua elemen tersebut sudah terpenuhi, barulah kemudian membangun budaya tafaqquh fiddin, sebagaimana budaya akademisi yang lumrah dikenal dalam perguruan tinggi. Disinilah yang sangat sulit sekali, apalagi  budaya tersebut sudah terkikis digantikan budaya yang sifatnya glamor. Menyegarkan kembali budaya lama (tafaqquh fiddin) di tengah semaraknya budaya baru membutuhkan tantangan yang sangat besar sekali. Karena membutuhkan kebersamaan, saling melengkapi, tidak saling menyalahi satu sama lain, serta saling tegur sapa ketika ada yang salah dengan tetap menggunakan etika dan tatakramah.

Barulah kemudian, menggemakan ke seluruh penjuru dunia. Mengatakan pada dunia bahwa budaya tafaqquh fiddin adalah budaya peninggalan leluhur kita semua umat islam. Budaya para nabi, budaya para rasul, budaya para sahabat, budaya para tabi’in, budaya para ulama salaf, budaya para kyai, budaya para ustad serta budaya para santri. Budaya inilah yang akan mengantarkan kita semua pada kesuksesan dunia dan di akhirat kelak. Semoga!. 

dimuat di buletin KAMAL edisi 22









1 komentar: