Sebelum melangkah lebih
jauh, pada pokok kajian alangkah baiknya jika memahami pengertian pesantren
terlebih dahulu. Mungkin kemudian timbul sebuah pertanyaan dibenak pembaca yang
budiman. Apa hubungannya pesantren dan tafaqquh fiddin?. Perlu kita
ketahui bersama bahwa istilah tafaqquh fiddin pertama kali dipopulerkan oleh
kalangan pesantren.
Pesantren pada
mulanya adalah sebuah lembaga pendidikan yang dijadikan sebuah wadah untuk memahami,
memperdalam dan mengembangkan ajaran-ajaran keislaman (tafaqquh fiddin).
Pesantren pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun
1399 M yang berfokus pada penyebaran agama islam di Jawa. Selanjutnya tokoh
yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan
Ampel). Pesantren pertama didirikan di Kembangkuning, yang waktu itu hanya
dihuni oleh tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai
Bangkuning. Melalui lembaga pesantren inilah kemudian Raden Rahmat membagikan
wawasan keislamannya, sehingga kemudian berhasil menelurkan santri yang tafaqquh
fiddin dan mampu mendirikan pesantren sendiri.
Ada beberapa
keunikan yang sifatnya eksotis yang harus kita pengang teguh bersama. Yaitu
tentang sebuah istilah pengajar, pelajar dan modul dalam pesantren. Hal serupa
tapi tidak bisa di serupakan, hal sama tapi tidak bisa disamakan dengan lembaga
pendidikan lainnya. Di pesantren kita mengenal santri, kyai dan kitab yang tentu
tidak bisa kita samakan secara mutlak, dengan yang namanya murid, guru dan buku.
Karena memiliki filosofi tersendiri, meskipun hakikatnya sama.
Sedangkan tafaqquh
fiddin itu sendiri adalah paham (memperdalam) ilmu agama, namun belakangan
ini tafaqquh fiddin dirasa mulai memudar di kalangan pesantren.
Sebagaimana pernah di sampaikan oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren Ace Saifuddin pada tanggal 22 Juli 2013 lalu, Dalam sebuah forum yang
diadakan oleh KEMENAG yang membahas tafaqquh fiddin pesantren.Dalam forum yang
dihadiri oleh 120 kyai dan pengasuh pondok pesantren itu, beliau menuturkan bahwa
pesantren sekarang dirasa mengalami degradasi kualitas akademik dalam
menjalankan perannya sebagai lembaga “tafaqquh fiddin”.
Menurut analisis penulis, ada beberapa faktor yang
melatar belakangi degradasi kualitas akademik pesantren sebagai lembaga “tafaqquh
fiddin”. Pertama adalah mendominasinya mata pelajaran yang tidak
se-arah dengan tujuan tafaqquh fiddin. Kedua metode pembelajaran
yang tidak inovatif atau cendrung monoton. Ketiga keberadaan pendidik
yang kurang mengusai pada materi sehingga kemudian, materi yang sebenarnya
mudah dan cepat dipahami berubah menjadi sukar dan sulit dipahami.
Meskipun realitasnya,
memberi pemahaman ilmu agama di zaman yang edan ini sangat sukar sekali. Apalagi
bagi mereka para santri khususnya dan pelajar umumnya yang sudah kadung terpengaruh
oleh budaya instan, tidak mau larut dalam proses atau karena sudah terlanjur mendalami
ilmu pengetahuan lainnya (yang tidak langsung menjurus pada tafaqquh fiddin).
Hal ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi para Kyai dan Ustadz. Maka
dari itu, perlunya langkah krearif dan inovatif, baik itu dari segi modul yang
disajikan ataupun metode pengajaran. Untuk memancing kembali semangat dalam
ber-tafaqquh fiddin.
Ajaran islam yang bersumber dari al-Qur’an, Hadist
serta kitab klasik maupun kontemporer merupakan sesuatu yang sangat sulit di pahami
dibandingkan dengan buku terjemahan yang sifatnya instan dan terbuka. Selain
membutuhkan pengetahuan yang mempuni dalam bidang gramatika bahasa Arab (nahwu
dan sorrof) sebagai keyword-nya, juga dituntut memahami budaya
mereka (orang Arab) untuk memberikan pemahaman yang sempurna.
Oleh karena itu, para kyai dan ustadz yang tanggap
akan kondisi yang sedang menimpa para santri saat ini. Maka mereka akan mencarikan
alternatif dan solusi untuk mempertahankan dan melestarikan kajian-kajian
keislaman yang bersumber dari karya ulama salaf, sehingga kemudian dari mereka
banyak menciptakan metode baru yang sangat relevan, mendukung dan cocok untuk
diajarkan kepada para santrinya. Seperti metode cepat belajar tahwid, metode
cepat membaca al-Qur’an, metode cepat belajar gramatika Arab, Metode cepat
membaca kitab, serta metode cepat menghafalkan nadzam-nadzan sampai
dengan metode cepat menghafal al-Qur’an. Langkah-langkah solutif seperti inilah
yang kemudian banyak dilirik, diperhatikan dan diikuti oleh para santri yang menimba
ilmu dalam pesantren, terlebih bagi para santri yang ikut andil dalam
mempertahankan dan menyengarkan kembali momentum tafaqquh fiddin yang selama
ini dirasa mulai meredup.
Selain itu
mendalami ilmu agama, adalah suatu perjuangan atau bisa dikatakan jihad yang
sangat besar sekali sebagaimana disampaikan Al-Qudamiy “Sesungguhnya
mempelajari ilmu dan mendalami agama adalah jihad (perang) yang besar.” Jihad melawan rasa
rindu, Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan rasa minder (konservatif), jihad
melawan rasa lapar, dan jihad yang lainnya yang kerap kali mendera para santri
yang berusaha mendapatkan pusaka tafaqquh fiddin.
Selain metode dan
penyampaian materi pembelajaran yang efektif, perlu juga memberikan motivasi
atau stimulasi bagi para santri untuk selalu bersemangat dalam bertafaqquh
fiddin. Karena belakangan ini dirasa sudah banyak sekali yang mengesampingkan motivasi
tersebut, padahal mamfaat dibalik motivasi tersebut sangat besar sekali. Dengan
adanya motivasi suatu yang sifatnya mustahil bisa jadi mungkin dan bisa di
capai. Dalam hal ini kreatifitas seorang pendidik diperlukan sekali terlebih
ketika berada didalam kelas, sehingga kemudian kelas tersebut bisa menjadi
hidup.
Ketika semua elemen
tersebut sudah terpenuhi, barulah kemudian membangun budaya tafaqquh fiddin,
sebagaimana budaya akademisi yang lumrah dikenal dalam perguruan tinggi.
Disinilah yang sangat sulit sekali, apalagi
budaya tersebut sudah terkikis digantikan budaya yang sifatnya glamor. Menyegarkan
kembali budaya lama (tafaqquh fiddin) di tengah semaraknya budaya baru
membutuhkan tantangan yang sangat besar sekali. Karena membutuhkan kebersamaan,
saling melengkapi, tidak saling menyalahi satu sama lain, serta saling tegur
sapa ketika ada yang salah dengan tetap menggunakan etika dan tatakramah.
Barulah kemudian, menggemakan ke seluruh penjuru dunia.
Mengatakan pada dunia bahwa budaya tafaqquh fiddin adalah budaya
peninggalan leluhur kita semua umat islam. Budaya para nabi, budaya para rasul,
budaya para sahabat, budaya para tabi’in, budaya para ulama salaf, budaya para
kyai, budaya para ustad serta budaya para santri. Budaya inilah yang
akan mengantarkan kita semua pada kesuksesan dunia dan di akhirat kelak. Semoga!.
dimuat di buletin KAMAL edisi 22
mantap...... saya suka
BalasHapus