Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan spritual Baginda Rasulullah SAW, yang
dilakukan oleh Rasululllah setahun sebelum hijrah ke Madina Al-Munawarah, tepatnya
pda tanggal 27 Rajab tahun pertama sebelum hijrah atau tahun 621 M, dengan
menunggang Burak yang dimulai dari Masjid Al-Haram
di Makkah Al-Mukarramah ke Masjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis, Palestina. Manakala
Mi’raj membawa maksud naiknya Baginda Rasulullah ke langit dari Masjid Al-Aqsa
ke Sidratul Muntaha.
Arti dari Isra’
dan Mi'raj yaitu penggabungan dua kata yang mempunyai arti di berjalankan dan
di angkat kelangit seorang hamba termulya yaitu Nabi Muhammad SAW oleh Allah
SWT sebagai bentuk kecintaan Allah terhadap Nabi dalam waktu yang sangat
singkat kurang lebih hanya seperempat malam saja dan Rasulullah SAW kembali
pulang ke Mekah sebelum terbit fajar.
Coba kita
bayangkan secara logika perjalanan Isra’ Nabi Muhammad SAW dari masjid Haram
yang ada di kota Makah ke masjid Aqsa yang ada di palestina yang berjarak
beribu-ribu KM di tambah dengan perjalanan Mi'raj yaitu di angkatnya nabi dari
bumi tepatnya dari masjid Aqsa ke langit ke tujuh sampai sidrotulmuntaha
hanya di tempuh beberapa jam saja.
Kalau di pikir
secara logika yaitu tidak mungkin semua itu bisa terjadi, namun kalau dipandang
secara keimanan maka itu mungkin saja terjadi karena cara mandangnya dengan
cahaya keimanan di dalam hati yang begitu reflek dan cepat menerimanya seperti
cepatnya cahaya matahari menembus permukaan bumi.
Begitu pula
dengan kejadian Isra’ Mi'raj yang tidak lepas dengan sebuah cahaya atau lebih
tepatnya ada empat sumber cahaya yang menyebabkan kejadian itu sangat singkat
dan cepat. Berikut empat sumber cahaya tersebut: Pertama adanya Allah SWT
dzat yang memiliki cahaya. Kedua adanya malaikat yang di ciptakan dari
cahaya. Ketiga adanya Nabi Muhammad yang wajahnya bagaikan cahaya. Keempat
adanya Buraq yaitu kendaraan yang di pakai oleh nabi Muhammad SAW pada waku
Isra’ Mi'raj yang pada jidatnya di tulis nama Muhammad yang mengandung cahaya
ke Nabian.
Dalam perjalanan
spiritual Baginda Rasulullah itu, banyak hikmah dan pelajaran yang patut
kiranya kita renungkan maksud dan esensi dari pada isra’ mi’raj tersebut. Tentang
kejadian-kejadian yang jauh dari nalar dan logika manusia, mulai dari peristiwa
yang mengharukan sampai pada peristiwa yang mengerikan, semua seolah terangkum
dalam jejak perjalanan spritual Baginda Rasulullah SAW, baik itu perjalanan
horisontal (isra’) atau pun perjalanan vertikal (mi’raj).
Namun yang perlu
kita ketahui bersama bahwa yang paling pokok dalam perjalanan peristiwa isra’
mi’raj adalah perintah akan kewajiban shalat lima waktu, Baginda Rasulullah langsung
menerima kefardhuan shalat itu langsung dari Allah SWT tanpa di dampingi oleh
malaikat Jibril. Pada waktu itu, ketika mendekati Sidratul Muntaha, malaikat
Jibril menghentikan langkahnya dan menyuruh Rasulullah SAW meneruskan
perjalanannya sendiri. Jibril berkata kalau dia memaksakan diri mendampingi dan
mendekati Sidratul Muntaha maka Dia akan hancur. Inilah satu-satunya wahyu atau
perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW tanpa perantara malaikat Jibril, yaitu
wahyu mengenai shalat fardhu.
Makanya kemudian shalat
merupakan ibadah spesial bagi umat Islam. Bahkan shalat inilah yang menjadi
barometer diterima atau tidaknya amal ibadah kita yang lain, sebagaimana dalam
hadits Nabi SAW berikut ini: “Amal yang pertama-tama ditanyakan Allah SWT
kepada hamba-Nya di hari kiamat nanti ialah amalan shalat. Bila shalatnya dapat
diterima, maka akan diterima seluruh amalnya. Dan bila shalatnya ditolak maka
akan tertolak pula seluruh amalnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At
Thabrani).
Shalat merupakan
kado spesial langsung dari Allah untuk makhluk-Nya, yang tidak hanya diwajibkan
Baginda Rasulullah tapi juga bagi seluruh umat dan pengikutnya, karena ketika umat Islam melakukan aktivitas shalat maka kita
akan “bertemu” dengan Allah SWT sebagaimana yang dialami Nabi SAW ketika
Mi’raj. Bahkan untuk meyakinkan umatnya, Rasulullah SAW bersabda: “Ash-Sholatu
Mi’rajul Mu’minin (Shalat itu Mi’raj-nya orang mukmin)”.
Jadi umat Islam-pun sebenarnya dapat Mi’raj! Lalu bagaimana caranya supaya
kita dapat Mi’raj?. Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya pastilah dia
mengalami suasana Mi’raj dan selalu ingin berlama-lama dalam aktivitas
shalatnya, karena dia “bertemu” dengan Allah SWT.
Rasa khusyu’ ini didapat ketika antara otak kanan (spiritual) dan kiri
(logika) kita mengalami keseimbangan (zero mind). Ketika ini tercapai maka
ketenangan akan mengalir atau turun ke hati. Apabila hati telah tenang maka
anda akan merasakan Ar-Ruh akan melesat terbang menuju Ar-Rabb. Karena Ar-ruh
adalah suci, inilah media kita untuk ber-Mi’raj kepada Allah SWT . Inilah
gambaran mengapa Allah SWT memperjalankan Nabi Muhammad SAW dari Al-Masjidil
Haram harus ke Al-Masjidil Aqsha terlebih dahulu, baru kemudian ke Mustawa
(langit ke sepuluh). Karena salah satu yang membedakan antara kita, para Rasul,
Nabi, para Sahabat dan Waliyullah, dalam beribadah adalah ke khusu’an-Nya.
Karena ketika seseorang itu khusuk dalam shalat-Nya, maka khusuk juga
seluruh anggota badanya, artinya orang itu tidak akan berbuat maksiat dan
kemungkaran di muka bumi ini, sebagaimana yang pernah di sampaikan oleh Aagym
dalam sebuah ceramahnya: “Andai kata khusuk di dalam hatinya, maka khusuk
pula seluruh anggota prilaku tubuhnya, tenang dihatinya, tenang di wajahnya dan
tenang pula dalam sikapnya”. Semoga kita yang mengapresiasi akan malam
peringatan jejak perjalanan spiritual Baginda Rasulullah, di berikan ke
khusu’an oleh Allah dalam ibadah kita. Amin.(*)