Oleh: Umar Faruk Fazhay
Dahlan Iskan
mensinyalir era bisnis media cetak hampir selesai di Indonesia. terang pemilik group bisnis Jawa Pos
ini pada suatu acara
diskusi buku berjudul Dapur Media di kantor Aliansi Jurnalis Independen di
Jakarta, Selasa (9/4). Dalam diskusi itu DI juga menuturkan bahwa
“nanti dalam satu kota hanya ada satu, dua dan tiga media cetak saja.” Hal ini
merupakan prediksi Dahlan Iskan tentang nasib media cetak di Indonesia ke depan
yang terancam gulung tikar.
Namun setelah penulis baca di beberapa surat kabar elektronik, pernyataan DI itu bukanlah sekedar sebuah prediksi belaka tapi hal tersebut merupakan nyata, hanya saja beda kontek dan skop DI hanya menyebutkan dalam lingkup Indonesia. Sedangkan ketika ditarik pada lingkup dunia memang benar adanya. Contoh di negeri Paman Sam alias Amerika, di sana banyak sekali media cetak besar yang gulung tikar. Padahal ketika di tilik dari usia berdirinya bisa dikatakan cukup tua begitupun dengan oplah per harinya sangat bagus sekali.
Media tersebut
antara lain adalah Seattle
Post-Intelligencer, The Christian Science Monitor (CSM), Cincinnati Post dan Times
Picayune. Semua
itu merupakan media cetak asal Amerika yang sudah berumur tua.
Namun yang paling
tua diantara keempat media cetak itu adalah Times Picayune. Media
ini berdiri pada tahun 1837 di New Orleans. Awalnya, Times Picayune
menyapa pembacanya setiap hari dalam edisi cetaknya. Namun semuanya berubah
ketika era internet membuat sirkulasi mereka kian menurun.
Salah satu faktor penyebab kolapnya media-media cetak
besar di atas tidak lain adalah karena semakin maraknya media online, dan
juga cepatnya media informasi dan komunikasi yang mana ditopang oleh hadirnya teknologi
informasi dan internet. Dengan hadirnya internet aktivitas manusia dalam
memburu informasi banyak yang beralih pada informasi yang sifatnya lebih instan
dan mudah, sehingga mereka lebih leluasa mengakses informasi kapanpun dan
dimana berada. Apalagi didukung oleh berbagai macam bentuk gadget dari
yang paling mahal sampai pada yang paling murah. Sehingga siapapun bisa
memilikinya.
Teknologi benar-benar menjadi
primadona bagi peradaban manusia modern pada Abad XXI ini. Ciri khas teknologi
adalah aplikatif, sederhana dan memudahkan cara hidup manusia. Teknologi yang
semakin mempersulit kehidupan manusia berarti bukan masuk kategori teknologi.
Teknologi internet (digital) menjadi salah satu ikon terbesar dari produk teknologi
di zaman modern ini. Ekspansi besar-besaran industri media konvensional menuju
media berbasis internet (online) sudah marak terjadi sejak awal tahun 2000
lalu, dan puncaknya nanti diprediksikan pada tahun 2022 mendatang atau 10 tahun
lagi dari sekarang (baca: Mei 2013).
Sejak era reformasi
1998 lalu, pertumbuhan media massa berbasis online yang lebih real time, berjalan amat pesat. Dan kini menjadi jawara
industri media massa. Wajarlah, sejak awal tahun 2000-an semakin banyak surat
kabar yang memiliki juga media online. Maksudnya, di samping
memiliki surat kabar, mereka juga memilikinya dalam bentuk media online. Kelemahan media cetak, yang mudah terkendala
oleh luasnya persebaran, juga membutuhkan biaya produksi dan distribusi yang
tinggi (mahal), hanya dapat diatasi melalui pengadaan media online yang lebih fleksibel, murah, mudah dan cepat.
Bahkan seluruh produk media massa dalam bentuk media online dapat dinikmati oleh seluruh penduduk dunia
dalam waktu sekejab, di luar angkasapun sepanjang masih terjangkau oleh
teknologi internet, setiap manusia bisa mengakses media online.
Namun meskipun demikian, peluang untuk media cetak tidak
berarti sudah tertutup menurut pengamat media Sven
Gabor Janszky. Media cetak di masa depan akan
menjadi barang istimewa. ”Informasi yang dicetak akan masuk pasar kelas atas.
Di sini informasi akan ditempatkan dalam konteksnya. Di sini ada opini dan
analisa.” Tapi media cetak akan berubah. Tidak sebagai informasi yang dicetak
setiap hari, melainkan sebagai majalah yang dicetak dengan kertas mahal untuk
konsumen kelas atas. Mungkin berupa majalah mingguan atau bulanan. Media cetak akan berisi latar
belakang dan analisa sehingga mampu melengkapi berita harian dan informasi interaktif yang
muncul di internet. Di Jerman, mingguan ”Die Zeit” sudah melakukan ini.
Penjualan "Die Zeit“ dari minggu ke minggu makin bertambah dan mencapai
angka rekor.
Di Tanah Air sendiri,
raja-raja media massa terus bermunculan. Nama besar seperti Dahlan Iskan, Surya
Paloh, Chairul Tanjung, Hary Tanoesudibjo, Anindya Bakrie, merupakan penguasa
media massa besar di Indonesia. Hary Tanoesudibjo adalah bos perusahaan media
yang tergabung dalam bendera MNC, membawahi RCTI, Global TV, MNCTV, Okezone.com serta jaringan televisi berbayar
Indovision. Sedangkan Dahlan Iskan adalah Menteri BUMN, yang notabene-nya bos besar Jawa Pos Group, yang menaungi
ratusan surat kabar dan televisi di Tanah Air.
Sementara Surya Paloh
memiliki Media Indonesia dan Metro TV. Chairul Tanjung sendiri merupakan
juragan PARA Group yang merupakan induk dari TRANS Corpora yang memiliki Trans
TV, Trans 7 dan juga Detik.com. Sedangkan Anindya
Bakrie (anak sulung Aburizal Bakrie), sebagai pemilik Bakrie Grup yang menaungi
ANTV, TV One, dan vivanews.com. Di samping lima
raja pengusaha media di atas, tentu masih banyak pengusaha media massa lain
yang turut meramaikan kompetisi industri media massa di Nusantara, seperti
Jacob Oetama (Kompas Gramedia Group), Sukamdani Sahid Gitosardjo (Bisnis
Indonesia Group), Budi Santoso (Suara Merdeka Group), dll.
Dari sekian banyaknya raja Bisnis media di Indonesia di
atas, patut kiranya kita memberikan
apresiasi pada mereka semua. Sehingga ketika suatu saat nanti sampai pada masa
yang diprediksikan oleh DI di atas para raja Bisnis media tersebut. Tidak putus
asa dalam mengembangkan media informasinya. Selalu aktif, kreatif dan inovatif.
Toh meskipun pada ujung-ujungnya
beralih terbit secara Online juga. Namun harapan besar penulis semoga
tetap terbit juga dalam bentuk cetaknya.
Karena hal itu merupakan kebutuhan yang sangat urgen
sekali terlebih bagi mereka yang mukim di pesantren, sebagaimana yang telah
kita ketahui bersama bahwa di pesantren tidak semua santri bisa dengan leluasa
mengakses informasi lewat internet. Sehingga kemudian pihak pesantren
memberikan alternatif yang lain (koran edisi cetak) sebagai media utama dalam mengupgrade
informasi para santrinya prihal kejadian-kejadian yang terjadi di luar
pesantren. Dan juga hal tersebut merupakan upaya pesantren untuk memfilter
dampak negatif yang kerap kali dilatar belakangi oleh penyalahgunaan internet.
Oleh sebab itu, perlu kiranya kita tela’ah kembali Sebab kolapnya media-media besar di luar negri tersebut. Karena menurut hasil
analisis penulis, paling utama dari banyaknya media cetak yang
tutup usia, bukan semata-mata trend masyarakat, tetapi karena media cetak tidak
menawarkan ruang yang lebih nyaman bagi industrialisasi. Selain
mahal juga terbatas.
Sementara
pada saat yang sama internet menawarkan apa yang tidak dimiliki media cetak.
Akhirnya, media cetak sepi peminat, baik dari pengiklan, lebih-lebih dari
pembaca. Inilah penyebab utama dari kolapsnya media cetak raksasa di beberapa
negara maju. Sepinya iklan di sebuah media adalah perkara yang mematikan. Sebab
media bisa eksis karena banyak iklan yang masuk. Jika iklan tidak ada, atau ada
tetapi tidak mencukupi kebutuhan operasional media, bisa dipastikan akan
terjadi kendala keuangan serius di sebuah perusahaan media.
Inilah
satu-satunya alasan rasional yang dianggap paling tepat untuk diikuti oleh
mayoritas pelaku bisnis dan masyarakat dunia secara umum. Jadi, tidak ada lagi
yang namanya idealisme. Sejauh tidak memberi keuntungan, untuk apa
dipertahankan, begitu kira-kira logikanya. Apalagi, media diciptakan memang
untuk kepentingan uang belaka, maka jelas tidak ada alasan lagi
untuk bertahan. Maka dari itu perlu
kiranya pihak media cetak mengevaluasi kembali kelemahan-kelemahan dari
berbagai sektor yang ada, karena penulis yakin dengan hakkul yakin jika
kelemahan yang ada ditubuh media cetak itu bisa diatasi, media cetak akan
terbebas dari jerat dan ancaman kolap atau gulung tikar tersebut. Media cetak
akan tetap eksis dan berkembangan mengikuti zamannya. Wallahua’lam.(*)
Artikel ini Meraih Juara II
Dalam Ajang Festival Mahasiswa KPI Se-Jawa Timur 2013
Yang di Selenggarakan oleh Gubenur BEM Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Nurul Jadid