Ketika penulis dihadapkan kepada dua opsi yakni antara gelar dan intelektualitas,
ingatan penulis flashback seketika. Kembali pada nasehat guru ngaji dulu
di desa, beliau berpesan bahwa “cong, jika suatu saat kalian sudah dewasa
dan sudah masuk sekolah formal apalagi sampai kuliah, jangan sampai salah niat.
Kalian sekolah jangan sampai berniat hanya untuk mendapatkan gelar (ijazah) belaka
yang sifatnya duniawi, tapi harus mantapkan dalam hati lillahi taala dan niat
menghilangkan kebodohan. Jika yang kalian butuhkan hanya sekedar ijazah tidak
usah sekolah atau kuliah. Karena hal itu akan membuatmu nista.”
Dari nasehat di atas jelas bahwa intelektualitas sangat urgen sekali. Seseorang
yang memiliki jiwa akademik yang sangat mendalam justru tidak akan pernah
mengesampingkan yang namanya intelektualitas, yang mana hal tersebut tidak
diperoleh tanpa dengan adanya learning process dan tentu tidak
ditentukan oleh gelar yang dicapai oleh seseorang tersebut. Misalnya Kepala
Sekolah, Kepala Sekolah yang ideal dan profesional tentu akan mencari pengajar
atau pendidik yang mempunyai intelektual tinggi dan profesional. Untuk memberikan
pelayanan yang memuaskan bagi peserta didiknya. Lantas kemudian hal itu tidak
hanya menjadikan gelar yang disandang pendidik itu sebagai barometer. Butuh
telaah ulang dalam memutuskan sebuah bijakan. Sekalipun pedoman utamanya adalah
gelar.
Namun realitas yang ada saat ini faktanya berbanding terbalik gelar
dijadikan barometer utama seseorang untuk mengelola suatu lembaga atau
perusahaanya. Tanpa harus melaksanakan fit and propertes (uji kelayakan) dahulu
pada setiap pendidiknya. Mestinya untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan
yang baik, perlu kiranya perbaikkan para pendidik dengan cara menyaring setiap
guru yang mengajar dilembaga tersebut.
Akhir-akhir ini kita banyak disuguhi kabar yang kurang baik, yang mana hal
tersebut di motori oleh kalangan pelajar baik yang masih berstatus siswa atau
yang sudah berstatus mahasiswa. Mereka banyak yang terjaring dalam kasus tindak
kriminal. Tentu ini menjadi polemik publik, pemuda yang merupakan harapan
bangsa sudah menjadi bara api bangsa yang seolah siap membakar, menghanguskan
dan meluluh lantakkan bangsa ini.
Dari banyaknya tindak kriminalitas yang dimotori oleh pelajar maupun
mahasiswa, dengan berbagai wacana dan strategi pemasukan kurikulum pendidikan
krakter dan sebagainya, tentu tidak cukup. Perlu adannya evaluasi diri terlebih
bagi tiap-tiap sekolah atau lembaga formal. Perlu menanyakan kembali eksistensi
atau kualitas pendidik dari pada lembaga tersebut. Dalam hal ini perlu
pemapanan atau profesionalisme bagi setiap jiwa pendidiknya.
Profesionalisme Proritas Utama
Dalam upaya memperbaikki mutu pendidikan dalam sebuah negara tentu harus
dikembalikan pada internal lembaga edukasi tersebut. Seperti perbaikan mutu
atau kualitas seorang guru sebagai pendidik dan hal ini tidak cukup dengan hanya
ditinjau dari segi gelar saja, karena kebanyakan pengerak sebuah lembaga
seperti Kepala Sekolah dan sebagainya saat ini hanya memandang sebelah mata,
mereka beranggapan bahwa ia yang sudah lulus atau sarjana S1 atau S2 sudah
layak menjadi tenaga pendidik tanpa memperhatikan asal usul, basic of
education-Nya yang meliputi intelektualitas dan profesionalitas dari pada calon
pendidik tersebut.
Feedback-Nya ketika sarjana atau gelar menjadi acuan utama, maka
lahirlah lulusan-lulusan yang tidak berintelektual, mereka tidak merasakan
kepuasana terhadap apa yang disampaikan gurunya dikelas. Banyak diantara guru
yang tidak mau tahu-menahu terhadap anak didiknya. Mereka hanya masuk kelas memberi
tugas tanpa mengucapkan sekata apapun, mereka membiarkan anak didiknya meraih
kesuksesan dengan sendirinya, tanpa harus memberikan bimbingan, arahan dan
stimulasi pada peserta didiknya.
Ramai Gelar Sepi Karya
Ketika gelar menjadi barometer utama dalam sebuah lembaga edukasi tanpa
memperlajari proses atau learning proses terlebih dahulu, maka
yang terjadi banyaknya sarjana-sarjana yang hampa, tumpul alias tidak berkarya.
Banyak dari mereka yang keteteran ketika terjun kedunia kerja. Yang
disebabkan ketidak matangan dalam hal intelektualitas atau mentalitas, pradigma
pencapaian gelar sarjana sebagai barometer utama bukan berproses sebagaimana
mestinya, merupakan malapetaka karena tidak adanya balance antara
profesionalisme dan gelar yang disandangnya.
Oleh sebab itu perlu kiranya bagi penguasa atau leader suatu lembaga manapun untuk muhasabah terlebih dalam
memutuskan sebuah kebijakan. Lulusan
atau sarjana yang hebat tentu dilahirkan dari seorang pendidik yang hebat dan
lulusan yang profesional tentu dilahirkan dari seorang pendidik yang
profesional pula. Dan seorang pendidik yang profesional tentu tidak bisa diukur
dengan gelar yang disandangnya meskipun ending-Nya kita tidak harus menafikan
gelar yang disandang oleh pendidik tersebut.
Penulis
Umar Faruk Fazhay
Mahasiswa Ekonomi Syariah
IAI. Nurul Jadid Paiton