Welcome to farukfazhay.blogspot.com, blog ini diasuh oleh Umar Faruk Fazhay asal Jl. Raya Sawah Tengah Robatal Sampang Madura Jawa Timur Antara Gelar dan Intelektualitas ~ MENYELAMI MIMPI

Minggu, 12 Mei 2013

Antara Gelar dan Intelektualitas


Ketika penulis dihadapkan kepada dua opsi yakni antara gelar dan intelektualitas, ingatan penulis flashback seketika. Kembali pada nasehat guru ngaji dulu di desa, beliau berpesan bahwa “cong, jika suatu saat kalian sudah dewasa dan sudah masuk sekolah formal apalagi sampai kuliah, jangan sampai salah niat. Kalian sekolah jangan sampai berniat hanya untuk mendapatkan gelar (ijazah) belaka yang sifatnya duniawi, tapi harus mantapkan dalam hati lillahi taala dan niat menghilangkan kebodohan. Jika yang kalian butuhkan hanya sekedar ijazah tidak usah sekolah atau kuliah. Karena hal itu akan membuatmu nista.”


Dari nasehat di atas jelas bahwa intelektualitas sangat urgen sekali. Seseorang yang memiliki jiwa akademik yang sangat mendalam justru tidak akan pernah mengesampingkan yang namanya intelektualitas, yang mana hal tersebut tidak diperoleh tanpa dengan adanya learning process dan tentu tidak ditentukan oleh gelar yang dicapai oleh seseorang tersebut. Misalnya Kepala Sekolah, Kepala Sekolah yang ideal dan profesional tentu akan mencari pengajar atau pendidik yang mempunyai intelektual tinggi dan profesional. Untuk memberikan pelayanan yang memuaskan bagi peserta didiknya. Lantas kemudian hal itu tidak hanya menjadikan gelar yang disandang pendidik itu sebagai barometer. Butuh telaah ulang dalam memutuskan sebuah bijakan. Sekalipun pedoman utamanya adalah gelar.

Namun realitas yang ada saat ini faktanya berbanding terbalik gelar dijadikan barometer utama seseorang untuk mengelola suatu lembaga atau perusahaanya. Tanpa harus melaksanakan fit and propertes (uji kelayakan) dahulu pada setiap pendidiknya. Mestinya untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang baik, perlu kiranya perbaikkan para pendidik dengan cara menyaring setiap guru yang mengajar dilembaga tersebut.

Akhir-akhir ini kita banyak disuguhi kabar yang kurang baik, yang mana hal tersebut di motori oleh kalangan pelajar baik yang masih berstatus siswa atau yang sudah berstatus mahasiswa. Mereka banyak yang terjaring dalam kasus tindak kriminal. Tentu ini menjadi polemik publik, pemuda yang merupakan harapan bangsa sudah menjadi bara api bangsa yang seolah siap membakar, menghanguskan dan meluluh lantakkan bangsa ini.

Dari banyaknya tindak kriminalitas yang dimotori oleh pelajar maupun mahasiswa, dengan berbagai wacana dan strategi pemasukan kurikulum pendidikan krakter dan sebagainya, tentu tidak cukup. Perlu adannya evaluasi diri terlebih bagi tiap-tiap sekolah atau lembaga formal. Perlu menanyakan kembali eksistensi atau kualitas pendidik dari pada lembaga tersebut. Dalam hal ini perlu pemapanan atau profesionalisme bagi setiap jiwa pendidiknya.

Profesionalisme Proritas Utama

Dalam upaya memperbaikki mutu pendidikan dalam sebuah negara tentu harus dikembalikan pada internal lembaga edukasi tersebut. Seperti perbaikan mutu atau kualitas seorang guru sebagai pendidik dan hal ini tidak cukup dengan hanya ditinjau dari segi gelar saja, karena kebanyakan pengerak sebuah lembaga seperti Kepala Sekolah dan sebagainya saat ini hanya memandang sebelah mata, mereka beranggapan bahwa ia yang sudah lulus atau sarjana S1 atau S2 sudah layak menjadi tenaga pendidik tanpa memperhatikan asal usul, basic of education-Nya yang meliputi intelektualitas dan profesionalitas dari pada calon pendidik tersebut.

Feedback-Nya ketika sarjana atau gelar menjadi acuan utama, maka lahirlah lulusan-lulusan yang tidak berintelektual, mereka tidak merasakan kepuasana terhadap apa yang disampaikan gurunya dikelas. Banyak diantara guru yang tidak mau tahu-menahu terhadap anak didiknya. Mereka hanya masuk kelas memberi tugas tanpa mengucapkan sekata apapun, mereka membiarkan anak didiknya meraih kesuksesan dengan sendirinya, tanpa harus memberikan bimbingan, arahan dan stimulasi pada peserta didiknya.

Ramai Gelar Sepi Karya

Ketika gelar menjadi barometer utama dalam sebuah lembaga edukasi tanpa memperlajari proses atau learning proses terlebih dahulu, maka yang terjadi banyaknya sarjana-sarjana yang hampa, tumpul alias tidak berkarya. Banyak dari mereka yang keteteran ketika terjun kedunia kerja. Yang disebabkan ketidak matangan dalam hal intelektualitas atau mentalitas, pradigma pencapaian gelar sarjana sebagai barometer utama bukan berproses sebagaimana mestinya, merupakan malapetaka karena tidak adanya balance antara profesionalisme dan gelar yang disandangnya.

Oleh sebab itu perlu kiranya bagi penguasa atau leader suatu lembaga manapun untuk muhasabah terlebih dalam memutuskan sebuah kebijakan.  Lulusan atau sarjana yang hebat tentu dilahirkan dari seorang pendidik yang hebat dan lulusan yang profesional tentu dilahirkan dari seorang pendidik yang profesional pula. Dan seorang pendidik yang profesional tentu tidak bisa diukur dengan gelar yang disandangnya meskipun ending-Nya kita tidak harus menafikan gelar yang disandang oleh pendidik tersebut.

Penulis
Umar Faruk Fazhay
Mahasiswa Ekonomi Syariah
IAI. Nurul Jadid Paiton

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar