Hector Garcia dan Francesc Miralles datang ke Okinawa seperti dua orang yang sedang mencari sesuatu yang hilang dari hidup mereka sendiri. Mereka menyamar sebagai peneliti, membawa buku catatan dan seratus pertanyaan, tetapi pada akhirnya mereka lebih seperti pengunjung yang diajari ulang cara menjadi manusia. Di sebuah pulau yang terkenal karena usia penduduknya yang panjang, mereka menemukan bahwa rahasia umur bukanlah ramuan herbal atau latihan pernapasan kuno, melainkan cara memandang pagi hari.
Setiap penduduk Okinawa, katanya, bangun dengan satu hal: ikigai. Sebuah kata yang mungkin terdengar seperti bisikan angin, tetapi sesungguhnya adalah alasan paling jernih untuk melanjutkan hidup. Orang-orang di sana tidak mencari makna dalam seminar motivasi atau menunggu pencerahan dari langit; mereka menemukannya dalam kegiatan kecil yang mereka cintai. Ikigai adalah alasan yang membuat seseorang bangun tanpa bertanya apa gunanya semua ini. Ia terbuat dari empat benang: apa yang kamu sukai, apa yang dunia perlukan, apa yang bisa kamu lakukan, dan apa yang bisa membuatmu bertahan hidup. Jika keempatnya dijalin, lahirlah sesuatu yang membuat hidup terasa seperti bukan beban, melainkan undangan.
Di Okinawa, waktu bergerak pelan. Bukan karena mereka malas, tetapi karena mereka tidak sedang kejar-kejaran dengan hidup. Mereka memotong sayur seperti sedang menulis puisi. Mereka menyapu halaman seperti menyapu pikiran sendiri. García dan Miralles mungkin datang dengan niat mencatat data, tetapi mereka akhirnya belajar bahwa kebahagiaan bukan soal berapa banyak yang dicapai, melainkan berapa lama seseorang bisa betah berada dalam aliran pekerjaan kecil yang sederhana. Dunia kita mungkin menganggap perlambatan sebagai tanda kalah, tetapi di Okinawa, justru di situlah kemenangan disembunyikan.
Orang-orang di pulau itu juga tidak mengenal kata pensiun seperti kita mengenalnya—sebuah pesta perpisahan dengan dunia. Mereka tetap bergerak, tetapi bukan dengan peralatan olahraga yang mengkilap. Mereka berjalan kaki ke kebun, memetik daun, atau mengayunkan tangan sambil bernyanyi pelan. Tubuh mereka digerakkan oleh kebiasaan, bukan kewajiban. Barangkali itu sebabnya mereka awet hidup: tidak ada hari yang dianggap selesai sebelum tubuh diberi kesempatan untuk merasa berguna.
Garcia dan Miralles menyimpulkan bahwa ketika tubuh dan pikiran tetap aktif, otak akan terus tumbuh seperti tanaman yang dipupuk setiap pagi. Tapi penduduk Okinawa mungkin akan mengatakannya lebih sederhana: selama kau masih punya alasan bangun pagi, hidup tidak akan meninggalkanmu terlalu cepat.
Mungkin itu yang membuat seratus wawancara terasa seperti satu cerita panjang: cerita tentang manusia yang tidak ingin menang atas waktu, tetapi ingin hidup berdampingan dengannya. Dan bukankah itu, pada akhirnya, yang kita cari-cari selama ini—cara hidup yang tidak membuat kita merasa terus tertinggal?






