Blog ini berisi catatan seputar jurnalistik baik fiksi maupun nun fiksi 2025 ~ MENYELAMI MIMPI

Rabu, 10 Desember 2025

Menyapa Diri Sendiri Setiap Pagi

 

Setiap pagi, sebelum dunia benar-benar ramai, saya sering memulai hari dengan hal yang sama: bangun, merapikan sedikit hidup, lalu pergi mencari sarapan. Pagi itu saya turun ke warung nasi kira-kira dua kilometer ke arah selatan rumah. Di sana, seperti biasa, saya memesan nasi pecel lima ribuan—harga yang membuat orang kampung merasa dekat dan aman. Orang kampung tidak mempersoalkan plating atau gaya makan, yang mereka cari sederhana saja: murah, enak, dan porsinya cukup untuk mendorong tubuh sampai siang.

Selesai makan, saya menambah dosa kecil dalam bentuk lima ribu rupiah gorengan di warung sebelah. Sepuluh ribu hilang tanpa perlawanan. Ketika pulang saya singgah di Indomaret untuk membeli camilan, seperti ritual kecil yang selalu saya ulang setiap kali ingin menulis. Saya mencari yang murah, bisa ditutup ulang, dan tidak cepat habis. Tetapi seperti yang sering terjadi, saya memilih bukan berdasarkan yang saya perlukan, melainkan yang saya inginkan. Hasilnya: dua puluh dua ribu terbang begitu saja—dua kali lipat dari biaya makanan pokok saya pagi itu.

Di perjalanan pulang, saya mulai menggerutu pada diri sendiri. Tidak keras, hanya seperti gumaman yang muncul dari sudut kepala: “Kamu ini boros sekali.” Entahlah. Angka dua puluh dua ribu mungkin bukan jumlah yang mengancam keberlangsungan hidup siapa pun, tetapi pengulangan kecil yang terus-menerus itulah yang menjelma besar. Sesuatu yang tumbuh diam-diam seperti rayap di kaki lemari.

Padahal saya sudah membaca begitu banyak buku tentang gaya hidup minimalis. Tentang hidup seperlunya, tentang menata barang, bahkan menata jiwa. Tetapi ketika berhadapan dengan rak-rak camilan di Indomaret, semua teori runtuh begitu saja. Ada yang mendorong saya—entah apa—untuk mengambil sesuatu yang akhirnya tidak saya makan, tidak saya suka, dan pada akhirnya hanya menjadi rezeki semut belaka.

Masalahnya tidak hanya berhenti pada camilan. Suatu hari saya melakukan self-research tentang interaksi saya dengan gawai. Hasilnya memprihatinkan. Sebagian besar waktu saya habis di aktivitas paling tidak produktif tetapi paling rajin dilakukan umat manusia modern: menggeser layar ke atas dan ke bawah, lalu mengulanginya lagi tanpa sadar. Sejenak saya merasa seperti seseorang yang tinggal di dalam ponsel, bukan seseorang yang memegangnya.

Yang paling membuat saya gelisah adalah hilangnya ruang keintiman dengan Tuhan. Dzikir setelah salat lima menit saja terasa panjang, pikiran saya seperti anak kecil yang ingin kabur dari kelas mengaji. Saya tahu ada yang tidak beres. Saya merasa bukan lagi memainkan gawai, tetapi sedang dimainkan olehnya. Dan itu menakutkan.


Di tengah kekalutan kecil itu, saya menemukan satu obat yang tidak saya sangka: menulis. Tepatnya, setelah saya mendaftar kelas “menulis sebagai meditasi sehari-hari” bersama Mas As Laksana. Kelas itu, bagi saya, bukan sekadar kelas menulis, tetapi ruang penyembuhan. Ruang untuk mendengar suara sendiri yang selama ini tenggelam oleh notifikasi, iklan, dan umpan tak berujung.

Sejak masuk kelas itu, saya mulai menulis setiap hari. Saya berdialog dengan diri sendiri. Menegur diri sendiri. Menghibur diri sendiri. Bahkan menasehati diri sendiri. Salah satu bentuknya adalah surat pagi yang saya tulis seperti ini:

“Syukur alhamdulillah, pagi ini Allah masih memberimu kesempatan hidup. Gunakan sebaik mungkin. Fokuslah pada satu hal. Kamu tahu kamu suka pada dunia pendidikan—lebih khusus hal-hal yang berkaitan dengan motivasi belajar. Pelajari itu. Dalami itu. Latih dirimu membuat video singkat setiap hari. Satu bulan saja fokus, kamu akan melihat perbedaan. Kemajuan itu tidak pernah datang dari keinginan besar, tetapi dari latihan kecil yang diulang-ulang.”

Surat itu hanyalah contoh. Setiap pagi, saya menulis seperti itu selama lima belas menit dengan stopwatch menyala. Dan perlahan-lahan, kebiasaan ini mulai menggiring saya menjadi lebih akrab dengan diri sendiri.

Semangat membaca pun kembali tumbuh. Saya kembali merasakan energi yang dulu hilang bertahun-tahun. Ketika Mas As menyampaikan tentang kemajuan 1% setiap hari, saya teringat pada buku Atomic Habits. Saya membayangkan: jika saya menulis satu halaman sehari saja, tahun depan saya punya 365 halaman. Bukankah itu sudah bisa disebut buku?

Saya juga mulai memberi sanksi pada diri saya, jika kembali ke pola lama. Hari ini, sebelum menulis esai ini, saya menghapus aplikasi Facebook. Bukan karena benci, tetapi karena ia sudah tidak lagi saya mainkan; justru saya yang dimainkan olehnya.

Saya berkata pada diri sendiri: “Setiap orang punya pilihan untuk maju. Pertanyaannya: kamu benar-benar mau atau tidak?”

Karena masa depan bukan besok. Masa depan adalah detik ini. Detik membentuk menit, menit membentuk jam, jam membentuk hari, hari membentuk bulan, dan bulan membentuk tahun. Kalau detik ini saja tidak benar, jangan berharap tahun akan berubah.

Kualitas hidup, saya pikir, hanya meningkat ketika kita mengisinya dengan hal-hal yang baik. Membaca, belajar, menulis—dan membaca diri sendiri. Banyak orang membaca buku dan lingkungan, tetapi lupa membaca diri sendiri. Akibatnya, dunia bertambah terang, tetapi dirinya sendiri makin redup.

Maka saya percaya pada kalimat yang dulu sering saya dengar dari Pak Faiz:
“Kuasai dunia dengan ilmu. Jalannya adalah belajar. Senjatanya adalah menulis. Kekuatanmu ada pada membaca. Maka, iqra’, bacalah.”

Dan setiap pagi, saya memulai perjalanan itu dengan hal yang paling sederhana:
menyapa diri sendiri.

IKIGAI: Pagi yang Tidak Pernah Lelah

 

Hector Garcia dan Francesc Miralles datang ke Okinawa seperti dua orang yang sedang mencari sesuatu yang hilang dari hidup mereka sendiri. Mereka menyamar sebagai peneliti, membawa buku catatan dan seratus pertanyaan, tetapi pada akhirnya mereka lebih seperti pengunjung yang diajari ulang cara menjadi manusia. Di sebuah pulau yang terkenal karena usia penduduknya yang panjang, mereka menemukan bahwa rahasia umur bukanlah ramuan herbal atau latihan pernapasan kuno, melainkan cara memandang pagi hari.

Setiap penduduk Okinawa, katanya, bangun dengan satu hal: ikigai. Sebuah kata yang mungkin terdengar seperti bisikan angin, tetapi sesungguhnya adalah alasan paling jernih untuk melanjutkan hidup. Orang-orang di sana tidak mencari makna dalam seminar motivasi atau menunggu pencerahan dari langit; mereka menemukannya dalam kegiatan kecil yang mereka cintai. Ikigai adalah alasan yang membuat seseorang bangun tanpa bertanya apa gunanya semua ini. Ia terbuat dari empat benang: apa yang kamu sukai, apa yang dunia perlukan, apa yang bisa kamu lakukan, dan apa yang bisa membuatmu bertahan hidup. Jika keempatnya dijalin, lahirlah sesuatu yang membuat hidup terasa seperti bukan beban, melainkan undangan.

Di Okinawa, waktu bergerak pelan. Bukan karena mereka malas, tetapi karena mereka tidak sedang kejar-kejaran dengan hidup. Mereka memotong sayur seperti sedang menulis puisi. Mereka menyapu halaman seperti menyapu pikiran sendiri. GarcĂ­a dan Miralles mungkin datang dengan niat mencatat data, tetapi mereka akhirnya belajar bahwa kebahagiaan bukan soal berapa banyak yang dicapai, melainkan berapa lama seseorang bisa betah berada dalam aliran pekerjaan kecil yang sederhana. Dunia kita mungkin menganggap perlambatan sebagai tanda kalah, tetapi di Okinawa, justru di situlah kemenangan disembunyikan.

Orang-orang di pulau itu juga tidak mengenal kata pensiun seperti kita mengenalnya—sebuah pesta perpisahan dengan dunia. Mereka tetap bergerak, tetapi bukan dengan peralatan olahraga yang mengkilap. Mereka berjalan kaki ke kebun, memetik daun, atau mengayunkan tangan sambil bernyanyi pelan. Tubuh mereka digerakkan oleh kebiasaan, bukan kewajiban. Barangkali itu sebabnya mereka awet hidup: tidak ada hari yang dianggap selesai sebelum tubuh diberi kesempatan untuk merasa berguna.

Garcia dan Miralles menyimpulkan bahwa ketika tubuh dan pikiran tetap aktif, otak akan terus tumbuh seperti tanaman yang dipupuk setiap pagi. Tapi penduduk Okinawa mungkin akan mengatakannya lebih sederhana: selama kau masih punya alasan bangun pagi, hidup tidak akan meninggalkanmu terlalu cepat.

Mungkin itu yang membuat seratus wawancara terasa seperti satu cerita panjang: cerita tentang manusia yang tidak ingin menang atas waktu, tetapi ingin hidup berdampingan dengannya. Dan bukankah itu, pada akhirnya, yang kita cari-cari selama ini—cara hidup yang tidak membuat kita merasa terus tertinggal?