Setiap pagi, sebelum dunia benar-benar ramai, saya sering memulai hari dengan hal yang sama: bangun, merapikan sedikit hidup, lalu pergi mencari sarapan. Pagi itu saya turun ke warung nasi kira-kira dua kilometer ke arah selatan rumah. Di sana, seperti biasa, saya memesan nasi pecel lima ribuan—harga yang membuat orang kampung merasa dekat dan aman. Orang kampung tidak mempersoalkan plating atau gaya makan, yang mereka cari sederhana saja: murah, enak, dan porsinya cukup untuk mendorong tubuh sampai siang.
Selesai makan, saya menambah dosa kecil dalam bentuk lima ribu rupiah gorengan di warung sebelah. Sepuluh ribu hilang tanpa perlawanan. Ketika pulang saya singgah di Indomaret untuk membeli camilan, seperti ritual kecil yang selalu saya ulang setiap kali ingin menulis. Saya mencari yang murah, bisa ditutup ulang, dan tidak cepat habis. Tetapi seperti yang sering terjadi, saya memilih bukan berdasarkan yang saya perlukan, melainkan yang saya inginkan. Hasilnya: dua puluh dua ribu terbang begitu saja—dua kali lipat dari biaya makanan pokok saya pagi itu.
Di perjalanan pulang, saya mulai menggerutu pada diri sendiri. Tidak keras, hanya seperti gumaman yang muncul dari sudut kepala: “Kamu ini boros sekali.” Entahlah. Angka dua puluh dua ribu mungkin bukan jumlah yang mengancam keberlangsungan hidup siapa pun, tetapi pengulangan kecil yang terus-menerus itulah yang menjelma besar. Sesuatu yang tumbuh diam-diam seperti rayap di kaki lemari.
Padahal saya sudah membaca begitu banyak buku tentang gaya hidup minimalis. Tentang hidup seperlunya, tentang menata barang, bahkan menata jiwa. Tetapi ketika berhadapan dengan rak-rak camilan di Indomaret, semua teori runtuh begitu saja. Ada yang mendorong saya—entah apa—untuk mengambil sesuatu yang akhirnya tidak saya makan, tidak saya suka, dan pada akhirnya hanya menjadi rezeki semut belaka.
Masalahnya tidak hanya berhenti pada camilan. Suatu hari saya melakukan self-research tentang interaksi saya dengan gawai. Hasilnya memprihatinkan. Sebagian besar waktu saya habis di aktivitas paling tidak produktif tetapi paling rajin dilakukan umat manusia modern: menggeser layar ke atas dan ke bawah, lalu mengulanginya lagi tanpa sadar. Sejenak saya merasa seperti seseorang yang tinggal di dalam ponsel, bukan seseorang yang memegangnya.
Yang paling membuat saya gelisah adalah hilangnya ruang keintiman dengan Tuhan. Dzikir setelah salat lima menit saja terasa panjang, pikiran saya seperti anak kecil yang ingin kabur dari kelas mengaji. Saya tahu ada yang tidak beres. Saya merasa bukan lagi memainkan gawai, tetapi sedang dimainkan olehnya. Dan itu menakutkan.
Di tengah kekalutan kecil itu, saya menemukan satu obat yang tidak saya sangka: menulis. Tepatnya, setelah saya mendaftar kelas “menulis sebagai meditasi sehari-hari” bersama Mas As Laksana. Kelas itu, bagi saya, bukan sekadar kelas menulis, tetapi ruang penyembuhan. Ruang untuk mendengar suara sendiri yang selama ini tenggelam oleh notifikasi, iklan, dan umpan tak berujung.
Sejak masuk kelas itu, saya mulai menulis setiap hari. Saya berdialog dengan diri sendiri. Menegur diri sendiri. Menghibur diri sendiri. Bahkan menasehati diri sendiri. Salah satu bentuknya adalah surat pagi yang saya tulis seperti ini:
“Syukur alhamdulillah, pagi ini Allah masih memberimu kesempatan hidup. Gunakan sebaik mungkin. Fokuslah pada satu hal. Kamu tahu kamu suka pada dunia pendidikan—lebih khusus hal-hal yang berkaitan dengan motivasi belajar. Pelajari itu. Dalami itu. Latih dirimu membuat video singkat setiap hari. Satu bulan saja fokus, kamu akan melihat perbedaan. Kemajuan itu tidak pernah datang dari keinginan besar, tetapi dari latihan kecil yang diulang-ulang.”
Surat itu hanyalah contoh. Setiap pagi, saya menulis seperti itu selama lima belas menit dengan stopwatch menyala. Dan perlahan-lahan, kebiasaan ini mulai menggiring saya menjadi lebih akrab dengan diri sendiri.
Semangat membaca pun kembali tumbuh. Saya kembali merasakan energi yang dulu hilang bertahun-tahun. Ketika Mas As menyampaikan tentang kemajuan 1% setiap hari, saya teringat pada buku Atomic Habits. Saya membayangkan: jika saya menulis satu halaman sehari saja, tahun depan saya punya 365 halaman. Bukankah itu sudah bisa disebut buku?
Saya juga mulai memberi sanksi pada diri saya, jika kembali ke pola lama. Hari ini, sebelum menulis esai ini, saya menghapus aplikasi Facebook. Bukan karena benci, tetapi karena ia sudah tidak lagi saya mainkan; justru saya yang dimainkan olehnya.
Saya berkata pada diri sendiri: “Setiap orang punya pilihan untuk maju. Pertanyaannya: kamu benar-benar mau atau tidak?”
Karena masa depan bukan besok. Masa depan adalah detik ini. Detik membentuk menit, menit membentuk jam, jam membentuk hari, hari membentuk bulan, dan bulan membentuk tahun. Kalau detik ini saja tidak benar, jangan berharap tahun akan berubah.
Kualitas hidup, saya pikir, hanya meningkat ketika kita mengisinya dengan hal-hal yang baik. Membaca, belajar, menulis—dan membaca diri sendiri. Banyak orang membaca buku dan lingkungan, tetapi lupa membaca diri sendiri. Akibatnya, dunia bertambah terang, tetapi dirinya sendiri makin redup.
Maka saya percaya pada kalimat yang dulu sering saya dengar dari Pak Faiz:
“Kuasai dunia dengan ilmu. Jalannya adalah belajar. Senjatanya adalah menulis. Kekuatanmu ada pada membaca. Maka, iqra’, bacalah.”
Dan setiap pagi, saya memulai perjalanan itu dengan hal yang paling sederhana:
menyapa diri sendiri.







