Welcome to farukfazhay.blogspot.com, blog ini diasuh oleh Umar Faruk Fazhay asal Jl. Raya Sawah Tengah Robatal Sampang Madura Jawa Timur Juli 2014 ~ MENYELAMI MIMPI

Rabu, 23 Juli 2014

Bahaya Politik Pencitraan dan Money Politik














Usai sudah perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014. Hanya menyisakan kenangan yang tentu masih melekat dalam akal dan pikiran. Wajah-wajah yang terpampang dalam sepanduk dengan raut wajah yang memesona (penuh harap), sebagai sarana untuk mengumbar segala bentuk kebaikan (pencitraan).

Demikian juga dengan serangan fajar, serangan malam, serangan subuh, serangan siang sampai dengan serangan TPS alias money politik yang berakhir pada depresi dan gila bagi mereka yang gagal meraih suara. Inilah yang membuat hati saya tergerak untuk menulis opini ini, serta sebagai bahan koreksi dan perhatian bagi seluruh elemen masyarakat, lebih-lebih mengenai negative fedback yang ditimbulkan oleh keduanya (politik pencitraan dan money politik).

Mendekati Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 mendatang, tentu juga tidak akan lepas dengan yang namanya politik pencitraan dan money politik, lebih-lebih menjelang waktu pemilihan. Hal ini yang harus menjadi sorotan dan perhatian bagi para ulama dan akademisi untuk memberikan arahan kepada masyarakat awam agar meninggalkan pengaruh media massa dan money politik yang sifatnya hampa dan nista.

Perlu diingatkan kembali bahwa masa depan Indonesia lima tahun kedepan berada di tangan para masyarakat sekaliah. Sudikah lima tahun kedepan negeri ini dipimpin oleh pemimpin produk media (pencitraan belaka)?, atau malah di tukar dengan uang Rp 20.000,-, Rp 30. 000,- sampai Rp 50. 000,- (per-suara) jika demikian yang terjadi. Lantas, mau dibawa kemana negeri ini selama lima tahun kedepan?.

Propaganda Media
Alkisah, konon di Tiongkok, ada seorang menteri bertanya kepada rajanya, ”Apakah yang mulia percaya jika seorang rakyat melapor bahwa ada seekor harimau mengamuk di pasar?”. ”Tentu tidak”, jawab raja. Kemudian si menteri bertanya lagi. ”Kalau ada dua orang yang melaporkan?”. ”Aku akan mulai bertanya-tanya.”. Bagaimana jika tiga orang mengatakan bahwa mereka melihat harimau?”. ”Aku akan percaya,” jawab raja tegas.  Kisah ini menunjukan bahwa adanya harimau di pasar belum pasti benar. Tetapi, jika diulang oleh banyak orang, maka hal tersebut seakan-akan menjadi nyata.

Demikian juga yang sedang terjadi dan menimpa negeri kita sekarang. Banyak di antara Calon Presiden (Capres) yang memamfaatkan media massa baik cetak maupun elektronik untuk meningkatkan elektabilitas mereka. Mereka bayar produser stasiun televisi, bloger, website, tabloid, majalah, buletin, dan koran. Sehingga tidak tidak hanya didunia nyata saja yang sesak dan banjir dengan iklan Capres sampai pada dunia maya (internet) pun ramai dengan pemberitaan tersebut. Jika tidak tidak percaya anda bisa langsung mengetik di mesin pencari (search engine) google, pasti penuh dengan artikel, opini dan pemberitaan seputar Capres.

Lain lagi, dengan aksi-aksinya yang blusukan masuk ke perkampungan, yang banyak menyedot perhatian. Hingga kadang membuat masyarakat lupa bahwa tugasnya mencangkul disawah belum selesai dikerjakan, serta berkunjung ke pesantren-pesantren mengunjungi kiai-kiai yang kharismatik yang dianggap memiliki umat banyak sehingga terkadang kiai pun (maaf) lupa bahwa ada waktu molang (ngajar) atau setidaknya bisa membuyarkan konsentrasi santri yang sedang belajar. Sungguh sangat memprihatinkan sekali, ironisnya lagi segala bentuk gerak-gerik Capres itu selalu diekspos dan tidak luput dari bidikan camera, hampir setiap hari head line koran dan stasiun televisi selalu diisi dengan pemberitaan pencitraan yang terbingkai dalam agenda kunjungan-kunjungan.

Inilah yang saya maksud dengan propaganda media, maka tidak salah jika kemudian Lenin pemuka komunis mengatakan ”Suatu kepalsuan yang diceritakan secara terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran”. Demikian juga dengan politik pencitraan yang memamfaatkan media. Ketika media mengulang-ulang memberitakan bahwa Capres ini, sering membantu masyarakat, blusukan, cekatan, kaya raya sehingga dijamin mampu mengemban amanah serta pro rakyat kecil dan petani. Bisa jadi masyarakat yang tidak tahu asal-usunya Capres tersebut bisa saja langsung percaya dan memutuskan pilihan kepadanya. Itulah hebatnya media massa bisa menyulap orang biasa menjadi orang yang luar biasa. Meskipun realitasnya, secara kapasitas, kapabilitas dan kredibilitas tidak mumpuni untuk memimpin negeri ini.

Money Politik Siapa yang Tidak Mau?
Rasa-rasanya untuk saat ini, sulit sekali menemukan orang yang zuhud dalam memilih pemimpin. Artinya kalau tidak golput seperti yang terjadi dibeberap daerah di Kabupaten Sampang Madura, mereka mau memilih dan mendatangi TPS asalkan ada imbalannya dengan menggunakan beberap istilah kata yang saya rasa tidak etis untuk disebutkan dalam tulisan ini, dan karena hal itu sudah tidak asing dan lumrah dikalangan masyarat baik kota maupun desa.

Praktek dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Jadi tidak heran jika gagal dalam maraih kursi seperti dalam pemilihan legislatif kemaren beraneka ragam juga penyakit yang diderita oleh mereka yang gagal menjadi anggota legislatif. Di sejumlah daerah, kita menyaksikan banyak Caleg yang harus dilarikan ke rumah sakit, karena mengalami gangguan mental. Bahkan akibat gangguan mental yang mereka alami, berdampak terhadap prilaku keseharian mereka. Ada yang tertawa sendiri, ada yang berlari sambil menelanjangi diri, ada yang memarahi warga yang sudah terlanjur mereka berikan imbalan, ada yang kembali menarik bantuan yang sudah terlanjur mereka berikan. Bahkan yang ekstrim ada yang sampai mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri serta masih banyak prilaku aneh lainnya.

Caleg gila akibat gagal lolos menjadi anggota dewan ini memang sudah menjadi fenomena saban pemilu legislatif. Pada pileg 2009 lalu misalnya, setidaknya Kementerian Kesehatan mencatat ada 7.736 caleg gila di seluruh Indonesia. Perinciannya, caleg gila untuk DPR RI ada 49 orang, DPRD provinsi 496 orang, DPD 4 orang dan DPRD kabupaten dan kota 6.827 orang. Sebagaimana dilansir dari www.an-najah.net.

Apalagi pasca Pileg 9 April 2014 lalu, pasti jumlahnya semakin meningkat. Diantara berita yang sempat saya baca di merdeka.com tercatat ada lima aksi gila yang dilakukan oleh mereka yang gagal nyaleg, diantaranya adalah: Caleg PKS asal Sampang rebut paksa kotak suara di TPS, Caleg Hanura asal Tulungagung tarik bantuan untuk Musala, Caleg wanita Gerindra di Solo cakar rekan partai, Caleg gagal di Ambon demo keliling desa, Caleg gagal asal Klungkung, Bali dari partai Golkar blokir jalan desa dan masih banyak lagi berita yang lainnya.

Semua itu masih dalam lingkup Pileg, bagaimana dengan Pilpres yang lingkupnya lebih besar lagi. Sudihkah kita melihat saudara kita yang gagal nyaleg atau bahkan yang gagal nyapres nanti menjadi depresi bahkan gila, gara-gara banyaknya uang yang dikeluarkan oleh mereka untuk membeli suara. Semoga tidak, dan semoga pihak aparat hukum memberikan sangsi yang lebih tegas lagi bagi dalang money politik tersebut. Sehingga masyarakat bisa sadar dan menyadari bahwa perbuatan tersebut tidak baik dan sangat tercela.

dimuat di Media Online Ngokos.Com