Welcome to farukfazhay.blogspot.com, blog ini diasuh oleh Umar Faruk Fazhay asal Jl. Raya Sawah Tengah Robatal Sampang Madura Jawa Timur Februari 2014 ~ MENYELAMI MIMPI

Selasa, 25 Februari 2014

Our Life


Janji Palsu Para Politikus


Memasuki tahun politik tentu kita disesaki dengan maraknya kampanye dan janji para politikus yang tentu tidak enak dipandang dan didengar. Tidak hanya spanduk dan pamflet yang dijadikan media kampanye yang dipasang di trotoar kota sampai pada perumahan warga tapi juga stasiun televisi serta media masa baik cetak maupun elektronik ramai dengan kampanye para politikus. Parahnya lagi tidak hanya itu saja sampai pada alat transportasi seperti mobil menjadi tempat dan media untuk kampanye para politikus tersebut. Mereka para politikus itu berlomba-lomba mencari tempat-tempat yang strategis untuk memikat hati masyarakat. Dengan memamfaatkan media-media yang disebutkan diatas mereka memasang kuda-kuda dan mengumbar janji kepada masyarakat menggunakan kalimat yang sangat persuasif dan memikat.

Hal ini tidak hanya ditemui pada saat Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) saja tapi sudah jamak ditemui ditengah-tengah masyarakat mulai dari Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sampai pada Pemilihan Gubenur (Pilgub) semuanya ramai dengan kampanye-kampanye yang tidak pernah absen dengan janji-janji yang diutaran pada saat kampanye tersebut dilakukan. Namun mirisnya janji-janji yang seringkali dikoar-koarkan oleh para politikus itu hanya berkisar di tempat saja adapun implementasi dari janji itu nihil alias kosong.

Terbitnya buku Politik Harapan Palsu (PHP) menjelang Pemilu 2014 ini seakan menjadi jawaban akan kebingungan rakyat ditengah upaya saling tuding elite politik tentang perjuangan yang sesungguhnya. Sehingga kemudian ditengah hiruk-pikuk itu parpol berikut aktor-aktornya senantiasa unjuk gigi dan tampil sebagai key word (kata kunci) dalam setiap wacana lebih-lebih terkait Pemilu yang insyallah akan dilaksanakan beberapa pekan dan bulan mendatang. Buku ini memang hadir pada waktu dan saaat yang tepat. Sehingga tidak heran jika peresensi pun juga ikut kagum dan penasaran ketika pertama kali membaca judul buku dalam sebuah toko buku. Penulis buku ini sangat kreatif sekali menciptakan sebuah judul, yang mungking terinspirasi dari istilah  Pemberi Harapan Palsu (PHP) yang sedang booming dan tren di kalangan remaja.

Dalam buku yang di tulis Andi Setiadi ini menyajikan beberapa pembahasan seperti pembahasan tentang kaidah politik: dari rakyat, (bukan) untuk rakyat, kampanye dan pembodohan publik, dilema penanggulangan kemiskinan, nasib pendidikan yang terkatung-katung serta mereka yang belum melunasi Janji-Janji Politiknya dan lain-lain. Alhasil peresensi pertegas kembali bahwa hadirnya buku ini merupakan sebuah oase bagi rakyat yang direndung kebingungan pada tahun politik ini.

 Selain itu, ada juga yang mungkin sudah kita ketahui bersama yakni praktek “lompat pagar” yang mana hal ini tentu tak bisa dibaca sebagai alasan pertaruhan idealisme, atau tak pantas ditafsirkan sebagai pertaruhan ideologi partai. Tetapi lebih relevan diberi persepsi bahwa itu dilakukan karena kepentingan pragmatisme; memburu peluang dan mengejar kekuasaan. Persepsi ini terbit dengan memperhatikan sepak terjang aktor-aktor politik lokal kita akhir-akhir ini, yang mayoritas dari bangsawan dan artis yang mencalonkan. Yang seyogianya tidak pantas untuk ikut campur dalam dunia perpolitikan dan pemerintahan.

Buku setebal 180 halaman ini, sangat cocok sekali dikonsumsi masyarakat Indonesia pada kondisi politik yang carut-marut seperti sekarang ini. Laksana penyegar bagi masyarakat yang sedang haus akan penjelasan tentang dunia abu-abu (dunia politik). Penulis buku sudah berhasil mengkemas bukunya dengan tema-tema yang selaras dan sesuai dengan isu-isu politik serta janji-janji palsu politikus yang sedang disemarakan. Maka bagi anda yang sedang kebingungan tentang seputar isu politik, alangkah baiknya jika anda membaca buku ini. Selamat Membaca.

Judul : Politik Harapan Palsu (PHP)
Penulis : Andi Setiadi
Penerbit : Irchisod (Divapress)
Cetakan  : Desember 2013
Tebal  : 180 halaman
ISBN  : 978-602-255-402-8


Selasa, 18 Februari 2014

Bisnis ala Rasulullah

Bisnis merupakan bagian integral dari ajaran Islam, hal ini mengarah pada beberapa ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi yang berhubungan dengan berusaha atau bekerja (bisnis). Bisnis dalam islam berarti bisnis yang menggunkan sistem atau rambu-rambu yang di tetapkan  oleh syariat islam. 
 
Secara umum bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien. Adapun dalam islam bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).

Islam memandang bahwa yang terpenting bukanlah pemilikan benda, tetapi kerja itu sendiri. Doktri al-Qur’an yang membentuk motivasi yang tinggi dalam bekerja umat Islam antara lain tercermin dalam Q.S. al-Mulk : 15, yang memberikan kesimpulan, pertama, bahwa bumi ini semua milik Allah, tetapi di anugrahkan kepada manusia. Kalimat “milik Allah” sebenarnya dapat dipahami bahwa bumi, air  dan kekayaan yang terkandung di dalamnya bukanlah milik perorangan karena kekuasaannya, melainkan untuk semua orang .

Dalam konteks masyarakat feodal, Islam bermaksud menghilangkan “sistem upeti” dimana tanah dianggap milik raja, tiran atau penguasa feodal. Sebagai alternatif al-Qur’an mengajarkan kemakmuran bersama. Kedua, ayat itu menimbulkan etos yang mendorong umat islam untuk “mengembara keseluruh bumi” mencari rizki Allah. Ini mendorong untuk dilakukannya perdagangan dalam sekala luas seperti perdagangan antar daerah bahkan negara.

Selain itu dalam al-Qur’an ada beberapa terma yang menjurus pada bisnis yakni terma tijarah, al-bai, isytara dan tadayantum, meskipun demikian pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material, tetapi juga immaterial. Untuk itu pelaku bisnis harus menjaga profesionalisme terhadap sesama dan menjaga ketaatan terhadap Allah Swt. Dalam konteks inilah kemudian al-Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bursa yang tidak pernah mengenal kerugian yaitu tijarah lan tabura.

Buku setebal 150 halaman, karya Najamuddin Muhammad, sangat cocok sekali dibaca oleh kalangan umat islam yang ingin berbisnis secara Islami, mengaca pada fenomena yang ada pada saat ini, banyak dari mereka (masyarakat awam) yang beranggapan bahwa meraka bebas berbisnis dengan sesuka hati tampa harus berpegang teguh pada koridor syariat Islam, yang terlintas dalam pikiran mereka adalah bagaimana meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan halal dan haram.

Dengan terbitnya buku ini, peresensi berharap menjadi oase bagi mereka yang ingin berbisnis secara islami, sehingga kemudian mereka paham dan mengerti tentang bisnis dalam Islam yakni bisnis sebagai dipraktekan langsung oleh Baginda Rasulullah Saw, sebagaimana tertera dalam buku ini, terlebih mengenai landasan normatifnya yang meliputi tauhid, keseimbanga (keadilan), kehendak bebas dan pertanggung jawaban serta kemudian mereka juga bisa dan mampu menjadikan kerja atau bisnis yang mereka geluti sebagai sarana ibadah. Selamat Membaca. 

Judul buku       : Cara Dagang ala Rasulullah Untuk Para Entrepreneur
Penulis            : Najamuddin Muhammad
Penerbit           : Diva Press
Cetakan           : 2013
Tebal               : 150 hlm       
ISBN               : 978-602-7663-03-9
Peresensi        : Umar Faruk Fazhay
dimuat di wasathon.com 17 Februari 2014

Rabu, 12 Februari 2014

Asmaul Husna Sebagai Solusi Hidup




Bicara tentang Asmaul Husna peresensi jadi teringat sebuah keajaiban yang ada di telapak tangan manusia. Keajaiban itu berupa garis tangan yang terdapat ditelapak tangan manusia, yang membentuk sebuah angka bahasa arab. Angka tersebut, ketika di jumlah nilainya sama dengan Asmaul Husna yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu 99.


Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, Nabi bersabda: “Sesungguhnyan Allah mempunyai 99 nama, barangsiapa yang menghafalkannya, maka akan masuk surga”. Hadist ini menunjukan bahwa betapa pentingnya, kita mengenal apalagi sampai bisa menghafal nama-nama Allah tersebut. Selaku umat muslim tentu, kita tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual dan emosial saja, tapi juga perlu mengasah kemampuan spritual, untuk melampaui krisis kehidupan yang kadang datang menimpa kita.

Dalam buku ini, Rachmat Ramadhana al-Banjari, mencoba menghadirkan nuansa baru kajian tentang Asmaul Husna. Dalam buku setebal 241 penulis buku juga memberikan makna dan penjelasan dari pada Asmul Husna tersebut. Selain itu dalam buku ini juga, di uraikan dengan jelas tentang gelar yang diberikan Allah kepada para hambanya, yang mampu bertindak dan berprilaku seperti nama-nama-Nya yang baik.

Seperti gelar Abd al-Mutakabbir (hamba Allah yang maha memiliki kebesaran) diberikan oleh Allah Swt. Kepada jiwa yang kokoh meneladani sifat Kibriya’-Nya. Jiwa ini senantiasa mendorong dan menggerakkan diri agar selalu melahirkan sikap kebesaran terhadap orang-orang  yang menentang Allah Swt. dan rasul-nya secara terang-terangan (hal. 33).

Selama ini mungkin kita tidak pernah menyadari, bahwa setiap orang muslim dianjurkan untuk selalu menyebut nama-nama yang agung itu di dalam memanjatkan do’a. Sebagaimana tersebut dalam surat Al-A’raf ayat: 180 yang artinya: “Allah mempunyai nama-nama yang baik, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.

Jadi jika kita mendapat masalah misalnya kurang cerdas, terbelit hutang, dijauhi teman, dizalimi orang, menghadapi ujian sekolah, sulit mencari pekerjaan, maka kita dianjurkan berdo’a dengan Asmaul Husna. Hendaklah kita berdo’a dengan sungguh-sunggug, khusu’ paling tidak kita tahu arti nama-nama yang tersebut dalam Asmaul Husna tersebut.

Oleh karena itu, hadirnya buku ini dirasa sangat penting sekali, di tengah peliknya sebagian ekonomi umat muslim. Yang kadang menjadi pemicu sehingga berujung pada hilangnya identitas kemuslimannya. Selain yang sudah diuraikan di atas, dalam buku ini juga menyajikan kandungan atau mamfaat dari pada Asmaul Husna itu sendiri sebagai kesehatan fisik, terbukanya pintu rizeki dan kesuksesan hidup serta munculnya ide kreatif dan inovatif.

Seperti yang termuat dalam buku ini (hal. 36), jika seseorang yang beriman kepada kehebatan Allah al-Khaliq dapat membaca “Ya Khaliq” sebanyak 762 kali pada malam hari dan memahami maknanya di dalam hatinya, niscaya Allah akan menciptakan untuknya malaikat yang akan selalu mendoakan dirinya. Wirid ini bermamfaat untuk memunculkan ide-ide kreatif, inovatif dan bermamfaat bagi pengamalnya.

Nabi Idris adalah manusia pertama yang membuat pakaian berjahit. Hasil karya Nabi Idris memberikan mamfaat yang besar bagi manusia. Sejak saat itu, manusia bisa memakai pakaian berjahit dengan berbagai model. Hal ini merupakan bukti atau fedback nyata dari pada kecintaan beliau kepada Allah.

Buku ini sangat layak dan cocok sekali dibaca oleh segenap umat muslim. Buku ini memiliki segudang solusi untuk menghadapi krisis kehidupan, serta di dalamnya juga disajikan do’a-do’a khusus pada setiap wirid Asmaul Husna yang ada. Do’a tersebut di tulis dengan bahasa Arab versi Bahasa Indonesia, di lengkapi juga dengan artinya. Sehingga do’a-do’a itu tidak sukar, mudah di baca oleh siapapun dan bisa diresapi artinya.

Judul                 : Hafal Luar Kepala Asmaul Husna Beserta Doa-Doanya
Penulis              :
Rachmat Ramadhana al-Banjari
Penerbit            : Diva Press
Cetakan            : Cetakan Juli 2013
Tebal                 : 241
ISBN                : 978-602-279-008-2
Peresensi           : Umar Faruk Fazhay* 

dimuat di koran Al-Amiri Pos

Selasa, 11 Februari 2014

Melaah Euforia Santri Menjelang Liburan


Dalam kamus KKBI digital dijelaskan bahwa euforia adalah perasaan nyaman atau gembira yang berlebihan.  Kemudian apa kaitannya dengan liburan santri?. Ada beberapa hal yang perlu dikaji dan ditelaah ulang mengenai liburan santri tersebut. Karena masih banyak diantara para santri yang belum paham hakikat dari liburan itu sendiri, apalagi bagi kalangan mereka yang beranggapan bahwa pesantren merupakan sebuah sangkar, kurungan atau yang lumrah dikalangan santri dengan sebutan penjara suci.

Ketika klaim pesantren sebagai penjara itu masih termaktub dan melekat dalam benak santri maka akan timbullah sebuah krakter yang tidak baik (hewani), yang mana prilaku tersebut akan kelihatan atau tampak pada saat menjelang hari liburan. Sebagai analogikanya adalah sebuah merpati jantan yang dikurung beberapa bulan dalam sangkar, ketika ia dilepas hal yang pertama yang akan ia lakukan adalah terbang setinggi-tingginya, lantas kemudian mencari betina. Semoga kita bukan termasuk santri yang seperti itu. Amin.

Selanjutnya bagaimana dengan santri?. Biasanya santri yang tertekan hidupnya dalam pesantren, atau yang beranggapan bahwa pesantren adalah penjara. Hal yang mereka lakukan pertama saat mau pulang adalah dengan cara melepas kopyah atau peci dan sarung atau kalau santri putri bisa jadi menggati jilbab dan busananya, dengan pakaian yang keren dan tredy versi zaman moders saat ini, nauzubillah mindzalik. Apalagi bagi para santri yang sudah paham atau terdoktrin bahwa kopyah atau peci itu adalah produk budaya Arab, tentu mereka akan anti sama yang namanya sarung dan peci.

Padahal realitasnya sudah jelas tercatat dalam sejarah, bahwa budaya peci itu juga identik bagi rakyat Indonesia, yang bermula dari sosok Soekarno. Konon, setelah menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan para pembantunya pada tahun 1942. Soekarno mampir ke Pesantren Darul Funun al Abbasiyah, di desa Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat asuhan Syekh Abbas Abdullah sahabatnya.

Syekh Abbas menghadiahi Soekarno peci hitam sambil berpesan “Peci ini kuberikan supaya Indonesia berdasarkan ketuhanan dan kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam.” Akhirnya, peci hitam itu menjadi ciri khas visual proklamasi dan perjuangan Soekarno di tahun-tahun kemudian.

Peci itu menjadi benda seni yang mewakili kehebatan sosok yang memiliki andil besar dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di kemudian hari, bahkan menjadi ciri khas orang Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa, akhirnya mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan hingga sekarang diikuti dan menjadi bagian penting dari busana resmi presiden-presiden Indonesia. Lihat saja, Presiden selanjutnya, Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur, dan Susilo Bambang Yodoyono tampil dengan peci sebagai baju resmi kepresidenan.

Jadi pantas kiranya, jika seandainya kita mempertahankan budaya berpeci dimanapun kita berada sebagai identitas kekal santri. Meskipun hukum asalnya adalah sunnah bagi laki-laki saat sholat (HR Bukhari I/498, Muslim hadits No 516), memasuki kamar kecil dan didaerah yang kebiasaan tempatnya memakai tutup kepala (Bughyah Al Mustarsyidin I/182). Selain itu juga untuk menjaga Keperwiraan (wibawa) seorang santri agar beretika sesuai dengan kalangan, waktu dan tempatnya.

Penulis sendiri menyadari, bahwa bagaimanapun ekspresi yang ditampilkan para santri ketika liburan. Semua itu merupakan manusiawi, namun meskipun demikian setidaknya harus ada filterisasi yang kemudian tidak melalaikan pada kewajibannya sebagai seorang santri, syukur-syukur bisa menjaga dan mempertahankan identitasnya dimanapun berada, sebagaimana pernah didawauhkan oleh alm. KH. Abd Haq Zaini: “Santri itu merupakan Identitas Abadi”. Jadi dimanapun berada harus tetap mempertahankan nilai-nilai kesantriannya.

Kesimpulan akhirnya adalah tetap penulis kembalikan kepada keyakinan masing-masing. Ambilah yang baik, dan buanglah yang jelek. Karena sesungguhnya libur yang cuman bisa dihitung dengan jari ini bisa jadi menghapus bahkan menghanguskan segala riyadah yang sudah kita kerjakan selama berbulan-bulan dalam pesantren, sebaliknya hal tersebut bisa jadi berdampak positif dengan cara mengimplementasikan keilmuan yang kita peroleh dalam pesantren ditengah masyarakat secara nyata. Karena hakikat libur yang sebenarnya adalah ujian dari Allah, ujian dari pengasuh serta ujian dari pesantren. Waallahu’alam

dimuat di Buletin KAMAL edisi 10